Opini

Pandangan Tafsir Ekologis terhadap Isu Tambang Nikel di Raja Ampat

Eksploitasi tambang, khususnya tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat, merupakan salah satu persoalan krusial yang mencuat belakangan ini. Aktivitas pertambangan di wilayah yang dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati ini telah memicu kekhawatiran akan kerusakan lingkungan, kehilangan ekosistem laut dan darat, serta terancamnya keberlangsungan hidup masyarakat adat. Persoalan ini tidak semata-mata merupakan isu ekologis dan sosial, melainkan juga menyangkut dimensi spiritual dan keimanan. Dalam perspektif Islam, perusakan alam adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Tuhan. Al-Qur’an secara eksplisit menyinggung kerusakan di bumi dan menegaskan peran manusia sebagai penjaganya.

Tafsir Ayat-Ayat Ekologis terhadap Eksploitasi Alam

Dalam QS. Al-A’raf [7]:56, Allah berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…
Ayat ini menjadi fondasi ekologis dalam Islam. Para mufassir seperti Ibnu Katsir, al-Razi, hingga Quraish Shihab menjelaskan bahwa perintah ini meliputi larangan eksplisit atas segala bentuk perusakan lingkungan termasuk eksploitasi sumber daya alam yang merusak keseimbangan. Quraish Shihab menekankan bahwa alam semesta ini telah diciptakan dengan keseimbangan, dan manusia sebagai khalifah wajib menjaganya. Penggalian tambang yang mengubah lanskap alam, mencemari laut dan sungai, serta menggusur masyarakat lokal, merupakan bentuk pelanggaran terhadap keseimbangan yang telah Allah tetapkan.
Relevansi ayat ini terhadap isu eksploitasi tambang di Raja Ampat sangat jelas. Keserakahan terhadap kandungan nikel yang bernilai ekonomi tinggi mendorong tindakan manusia yang mengabaikan keberlanjutan ekosistem. Islam melihat alam sebagai amanah (titipan), bukan milkiyah (kepemilikan absolut). Oleh karena itu, mengeksploitasi sumber daya dengan cara yang merusak berarti mengkhianati amanah tersebut.
Dalam QS. Al-Baqarah [2]:11–12, Allah mengkritik mereka yang menganggap diri pembuat kebaikan, padahal sejatinya mereka penyebab kerusakan.

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْض قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.'”
Tafsir al-Qurtubi menjelaskan bahwa manusia kerap menyamarkan kerusakan sebagai kebaikan. Ini sangat relevan dengan dalih-dalih investasi dan pembangunan yang sering dijadikan pembenaran atas eksploitasi alam. Para pelaku pertambangan mungkin berdalih meningkatkan perekonomian daerah atau membuka lapangan kerja. Namun jika hasilnya adalah rusaknya lingkungan Raja Ampat, terganggunya ekosistem laut, dan hilangnya hutan tropis yang langka, maka sesungguhnya itu bukan perbaikan, melainkan kerusakan.
Ayat ini memberi pelajaran penting bahwa tidak semua yang diklaim sebagai pembangunan adalah kebaikan. Islam mengajarkan maslahat yang hakiki yaitu keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan alam. Pembangunan yang mengorbankan lingkungan adalah bentuk kerusakan terselubung. Di sinilah umat manusia harus bersikap bijak dan kritis, menilai apakah suatu tindakan benar-benar mendatangkan manfaat ataukah hanya menciptakan keuntungan jangka pendek dengan mengorbankan masa depan lingkungan.
Aktivitas tambang yang kini mengancam keutuhan alam Raja Ampat adalah manifestasi nyata dari ayat ini. Dampaknya bukan hanya lokal, tetapi juga mengancam warisan ekologis dunia. Dalam Islam, ini adalah bentuk kezaliman terhadap makhluk lain dan generasi masa depan. Maka, setiap Muslim dan warga dunia wajib bersikap sebagai penjaga bumi, bukan perusaknya.

Bagaimana Seharusnya Manusia Bersikap terhadap Eksploitasi Alam?

Sikap yang seharusnya diambil manusia terhadap isu eksploitasi tambang tidak cukup hanya pada tataran retorika atau wacana, melainkan menuntut kesadaran ekologis dan aksi nyata. Pertama, manusia perlu kembali memahami hakikat dirinya sebagai khalifah fil-ardh yang memiliki tanggung jawab menjaga ciptaan Tuhan. Kedua, manusia harus berhenti memandang alam sebagai objek eksploitasi tanpa batas, dan mulai memposisikannya sebagai mitra kehidupan yang harus dilindungi. Ketiga, masyarakat perlu mengembangkan gaya hidup ramah lingkungan dengan mengurangi konsumsi produk yang berasal dari praktik pertambangan yang merusak, serta mendukung advokasi lingkungan. Keempat, pemimpin dan pembuat kebijakan harus berani mengutamakan keberlanjutan lingkungan daripada kepentingan ekonomi sesaat. Dan terakhir, manusia perlu memandang setiap upaya penyelamatan lingkungan sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab spiritual di hadapan Allah.
Alam bukan cuma latar hidup manusia—alam bagian dari keberadaan manusia itu sendiri. Jika hari ini Raja Ampat diganggu keseimbangannya, maka sebenarnya yang terganggu adalah keberlangsungan hidup manusia sendiri. Ayat-ayat Al-Qur’an mengingatkan bahwa menjaga bumi bukan hanya tugas untuk para ahli, tapi untuk siapa pun yang masih memiliki nurani dan iman. Maka, mari mulai menjaga—meskipun dari hal kecil. Karena kalau bukan manusia, siapa lagi?
 
Penulis: Nazwa Zein
Sumber foto: https://images.app.goo.gl/H8t2f3FDgJpi6CvB8

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator