ARSIP DISKUSI

Hadits Palsu dalam Kitab Durrotun Nasihin: Bijak Menyikapi

TSIRWAH INDONESIA – Banyak sekali dan seringkali menjadi polemik, pembahasan terkait kitab Durrotun Nasihin yang dikatakan banyak hadits palsu di dalamnya.

Bahkan saat tulisan ini sampai ke kalian, mungkin bisa jadi kalian sudah berada di 10 tahun lebih sejak ditulisnya tulisan ini, dan polemik masih sering dibahas di permukaan sosial.

Memang banyak di kalangan para ulama, utamanya ulama di bidang hadits, para muhadditisin, yang menyatakan bahwa hadits-hadits di dalam kitab tersebut banyak yang Laa Asla Lahu (tidak ada asalnya, tidak diketahui asalnya).

Tetapi 1 hal yang pasti adalah, bahwa ilmu hadits itu sangat luas, kemudian tidak sampai situ, kitab-kitab takhrij hadits atau kitab-kitab yang memuat tentang hadits, pun juga sangat banyak, besar kemungkinan mustahil bagi setiap individual untuk hatam semua kitab tanpa terkecuali.

Itu di zaman ulama salaf ataupun kholaf, belum lagi di zaman sekarang abad ke-20 an yang notabene sudah tercemari waktunya dengan duniawi, gadget, besar potensi mustahil untuk menamatkan serial kitab-kitab hadits tanpa terkecuali.

Seorang ulama pakar hadits, Imam Ibnul Jauzi, sampai menyusun sebuah kitab yang di dalamnya dilist hadits-hadits apa saja yang maudhu yang beredar di kalangan umat islam.

Salah satu hadits yang ditulis oleh beliau dalam kitab tersebut, ternyata pernah diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Tentu menjadi tanda tanya, dan pembaca pasti memahaminya.

Ini adalah sebuah contoh akan keluasan disiplin ilmu hadits beserta riwayat-riwayatnya.

Kita tidak pernah tau antara :

  • Apakah haditsnya tidak pernah diriwayatkan oleh ulama lain
  • Apakah haditsnya ternyata diriwayatkan di kitab lain tapi kita saja yang belum pernah membacanya
  • dan berbagai kemungkinan

Fakta mana yang benar dan sedang terjadi.

BACA JUGA : Ayat-ayat Al-Quran sebagai Solusi dari Setiap Permasalahan Hidup

Makanya, banyak para alim ulama yang tidak tergesa-gesa dengan kata maudhu/palsu, tapi lebih memilih untuk berkata :

  • Laa Asla Lahu (tidak diketahui asalnya)
  • Laa Ajidu fi Maktabatiy (saya tidak pernah menemukan di perpustakaan saya ‘maksudnya di kitab-kitab yang pernah saya baca dan pelajari)

Ini merupakan suatu akhlak tersendiri yang harus dipertimbangkan.

Yang tidak bagus adalah, kita memprovokasi umat agar menjauhi sebuah kitab seperti yang sedang kita bahas,

Jika sudah meyakini kalo hadits ini palsu, berdasarkan penelitian, maka cukup tinggalkan, tidak usah dibaca, tidak perlu difatwakan, selesai.

Jika ragu karena awam, cukup bertanya pada yang mampu, selebihnya tidak perlu berlebihan.

Tidak, yang bisa berdosa itu jika menjadikannya senjata fatwa padahal tau status haditsnya.

Siapa umat muslim yang tidak tau kitab fenomenal, Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali,

Kita mengetahui bersama bahwa di sana juga banyak terdapat hadits-hadits lemah, juga ada yang dikatakan maudhu.

Kemudian, kita ingat kembali, siapa Imam Ghazali dan gelar apa yang dimiliki beliau?

Imam Ghazali disebut juga sebagai bapak tasawuf, gelarnya juga tidak main-main yaitu Hujjatul Islam,

Hujjatul Islam ini memiliki arti bahwa orang yang menyandangnya sudah menyelesaikan hampir semua disiplin keilmuan, tidak terkecuali ilmu hadits,

Terjemahan kata tersebut sendiri adalah : Hujjah nya, Dalilnya, Bukti konkret nya agama Islam. Seakan-akan bila ada orang yang ingin melihat dan mengetahui apa itu islam, maka cukup dengan menghadirkan Imam Ghazali sudah bisa membuatnya berbincang-bincang dengan islam itu sendiri.

Yang bagus, adalah meniru gaya ulama sebagaimana tadi dijelaskan, yaitu :

  • Berkata yang sopan, Laa Asla Lahu, tapi bukan berarti haram berkata maudhu, tetap harus tegas sesuai porsi, situasi dan kondisi
  • Tidak memfatwakan dengan ngawur
  • Tetap meneliti saat menemukan

CONTOH HADITS YANG MEMANG PERLU DIJAUHI

Sebuah hadits yang biasa beredar di kalangan kita, yang menyatakan bahwa :

“Anak hasil zina, ibadahnya tidak diterima”

Kurang lebih begitu intinya.

Ini adalah memang berseberangan dengan hadits yang jelas, yaitu tentang setiap bayi yang dilahirkan adalah suci, orang tuanya lah yang membuatnya jadi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.

Intinya, bayi itu suci, bayi itu tidak dikenai hukum ataupun status sebagaimana orang tuanya, kalo dia tumbuh besar dan mengenal islam lalu beramal sesuai agama islam, maka dia adalah muslim sejati dan berhak atas penerimaan Allah terhadapnya.

KESIMPULAN

Boleh bagi kita membaca hadits-hadits maudhu, tidak boleh memfatwakan, tapi juga harus tetap bijak dalam menyikapi, tidak boleh memprovokasi agar umat menjauhi sebuah kitab dengan cara yang buruk hanya karena satu dan lain hal selama tidak bertentangan dengan akidah dan hal-hal bersifat asliy.

Bonus : hadits lemah atau dhoif, jangan tiba-tiba dibuang, dikecam pelakunya dst. Hadits dhoif masih bisa diamalkan dalam rangka motivasi, jadilah pribadi yang bijak sana sini.

Wallohu Alam.

Editor: Havidz Ramdhani

Aktivis Dakwah, Penulis, Guru Agama, Hafidzul Quran, Web Developer, Graphic Designer, memiliki ketertarikan untuk mengembangkan dan memajukan dunia pendidikan pesantren sesuai relevansi zaman dan teknologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator