Fiqih & Akidah

Hukum Menjual Pakaian Sexy, Perhatikan Hal Ini

TSIRWAH INDONESIA – Menjual pakaian sexy, pakaian ketat, pakaian transparan dan pakaian mini, terutama pakaian wanita, adalah hal yang sangat mudah kita jumpai untuk saat ini.

Menjual pakaian ketat ataupun sexy memiliki banyak motif mulai dari memfasilitasi istri untuk dinas pada suami, hingga motif lainnya.

Kita akan membahas hukum berpakaian ketat dahulu, apakah sudah cukup dalam hal ‘Menutup Aurat’ atau belum atau bagaimana hukumnya dalam pandangan ulama Fuqaha.

Dalam Minhajul Qowim dijelaskan bahwa selama sudah menutupi warna kulit, maka sudah dikatakan menutup aurat, sebagaimana berikut:

ستر اللون فيكفى مايمنع ادراك لون البشرة وشرط الساتر فى الصلاة وخارجها ان يشمل المستور لبسا ونحوه مع

Artinya: “Syarat menutupi aurat baik dalam shalat maupun di luarnya itu adalah tertutupinya anggota tubuh oleh pakaian (tidak ketat) atau sejenisnya, serta menutupi warna kulit. Jadi, sudah tercukupi apabila pakaian itu menutupi warna kulit.”

Selanjutnya, hukumnya adalah menyalahi etika (khilaful aula) bagi lelaki dan makruh bagi perempuan, seperti dalam kitab I’anatuth Tholibin:

ويكفى مايحكى لحجم الاعضاء (اي ويكفي جرم يدرك الناس منه قدرالاعضاء كسراويل ضيقة) لكنه خلاف الأولى (اي للرجل واماالمرأة والخنثى فيكره لهما) (حاشية اعانة الطالبين ج 1 ص 134)

Artinya: “Cukup (boleh) memakai sesuatu yang mampu menutupi aurat dalam shalat meskipun masih tampak lekuk tubuhnya (pakaian ketat). Hanya saja bagi laki-laki hukumnya khilaful aula (menyalahi etika kebiasaan), sedangkan bagi wanita dan banci hukumnya makruh.”

Akan tetapi, dalam permasalahan seperti ini, yakni tentang berpakaian ketat, terutama bagi kaum hawa, tentu menjadi sebuah perkara yang sangat tidak etis secara tasawuf.

Fiqih mungkin memang memaparkan bahwa hukumnya hanya sampai makruh, akan tetapi kalo sudah masuk ranah tasawuf (etika pada tuhan) terlebih bab wara’, tentu berpakaian ketat sangat dianjurkan untuk dijauhi.

Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam pernah dihadiahi sebuah pakaian (namanya Quthbiyyah, nama pakaian di zaman tersebut dan di tempat tersebut), kemudian pakaian itu diberikan Rasulullah pada sahabatnya.

Di suatu waktu Rasulullah menanyakan pada sahabatnya tersebut tentang pakaian itu, mengapa tidak dipakainya, sahabat tersebut menjawab, “Pakaian itu aku pakaikan untuk istriku, wahai Rasulullah.”

Kemudian Nabi bertutur: “Suruh dia memakai pakaian double-an, khawatir pakaian tersebut menunjukkan atau menggambarkan bentuk tulangnya.”

CATATAN

Hukum fiqih mengenai makruhnya berpakaian ketat, mengarah pada ‘berpakaian’nya itu sendiri. Sedangkan bila berpakaian ketat kemudian digunakan untuk keluar rumah dan membuat fitnah atau syahwat bagi lain mahram, sudah menjadi jelas bahwa itu haram.

Keharamannya adalah dari segi ‘membuat atau menyebabkan fitnah ataupun syahwat bagi lain mahram’. Maka penting untuk dipahami pada bagian ini.

Hukum Menjualnya

Syaikh Ibnu Taimiyah dalam hal fikih bab seputar ini, menjelaskan bahwa jika sebuah pakaian diduga kuat akan digunakan untuk kemaksiatan, maka tidak boleh diperjual-belikan atau menjahitnya yang nantinya berdampak membantu keberlangsungan kemaksiatan atau kezaliman tersebut, sebagaimana dalam kitab Syarh Umdah berikut:

وَكُلُّ لِبَاسٍ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنْ يُسْتَعَانَ بِلُبْسِهِ عَلَى مَعْصِيَةٍ فَلَا يَجُوْزُ بَيْعُهُ وَخَيَاطَتُهُ لِمَنْ يَسْتَعِيْنُ بِهِ عَلَى الْمَعْصِيَةِ وَالظُّلْمِ

Selanjutnya, hukum lain menjual pakaian yang disinyalir akan menimbulkan membuka aurat atau semacamnya, adalah tergantung pada sikon (situasi dan kondisi):

  • Jika penjual mengetahui bahwa yang membeli akan dikenakan untuk di rumah dan untuk suami-istri, maka diperbolehkan
  • Jika pembeli mengetahui bahwa akan disalahgunakan, yakni tidak untuk yang berstatus suami-istri, maka dilarang, sebab akan membantu kemaksiatan

KESIMPULAN

Hukum menjual pakaian yang membuka aurat atau semacamnya adalah:

  • Jika diyakini atau penjual mengetahui bahwa akan digunakan untuk situasi halal (seperti suami-istri) maka boleh
  • Jika tidak, maka tidak boleh, sebab membantu kemaksiatan

Wallohu Alam
Oleh Ustadz Hafidz

Editor: Havidz Ramdhani

Aktivis Dakwah, Penulis, Guru Agama, Hafidzul Quran, Web Developer, Graphic Designer, memiliki ketertarikan untuk mengembangkan dan memajukan dunia pendidikan pesantren sesuai relevansi zaman dan teknologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator