Fiqih & Akidah

Kontradiksi Ulama: Apa Hukum Puasa Tarwiyah, Simak Penjelasan Berikut

TSIRWAH INDONESIA – Tidak terasa hari berlalu begitu cepat, rasanya baru saja umat muslim melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, kemudian merayakan hari kemenangan di bulan Syawal yaitu Hari Raya Idul Fitri.

Dewasa ini umat islam sedang menikmati indahnya beramal seperti puasa, memperbanyak dzikir, berkurban, berhaji bagi yang mampu, dan shalat iduladha di bulan Dzulhijjah, bulan yang suci penuh dengan kebaikan dan kemuliaan.

Berbicara mengenai amalan di bulan Dzulhijjah, ada sebagian umat islam yang menjalankan puasa sunnah selama sepuluh hari. Tujuh hari berlalu, pertanda bahwa umat islam akan memasuki hari Tarwiyah dan biasanya banyak yang berpuasa di hari kedelapan dan kesembilan di bulan Dzulhijjah, dalam melaksanakan amalan ini bukan hanya umat islam melainkan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Hal ini sebagaimana dijelaskan pada hadist yaitu diriwayatkan dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya bahwasannya beberapa istri nabi SAW mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berpuasa pada sembilan hari (awal) Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), dan berpuasa tiga hari setiap bulannya,” (HR Ahmad).

Definisi Puasa Tarwiyah

Puasa tarwiyah adalah puasa pada hari Tarwiyah, yaitu hari kedelapan dari bulan Dzulhijjah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi umat muslim yang tidak menunaikan haji.Berbicara mengenai hukum puasa tarwiyah, ada fakta menarik yang dikemukakan oleh Imam Nawawi beliau berkata, adapun perkataan Aisyah radhiyallahu anha yaitu:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ

Artinya: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berpuasa pada 10 hari Dzulhijjah sama sekali,” (HR Muslim).

Perkataan mengenai hal ini terdapat dalam riwayat lain disebutkan “lam yasumil asyr,” maka para ulama berpendapat yaitu hadits ini menjadikan kesalahpahaman akan kemakruhan puasa pada sepuluh hari Dzulhijjah (1-9 Dzulhijjah). Lalu, apa sebenarnya hukum puasa tarwiyah?

Hukum Puasa Tarwiyah

Menyinggung hadits di atas, bahwasannya termasuk hadits yang ditakwil, sebab sama sekali tidak makruh hukumnya berpuasa pada sepuluh hari Dzulhijjah, bahkan sunnah (istihbab syadid) yang sangat dianjurkan terutama pada tanggal 9 Dzulhijjah yaitu hari Arafah dan telah dikemukakan beberapa hadits yang menjelaskan keutamaannya yaitu:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَفْضَلُ مِنْهُ فِي هَذِهِ يعنى العشر الأوائل من ذى الحجة

Artinya: “Tidak ada hari-hari dimana amal kebaikan di dalamnya lebih utama melebihi amal kebaikan yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah),”(HR Bukhori).

Perkataan Aisyah radhiyallahu anha di atas, ditakwil dengan pengertian bahwasannya Rasulullah SAW tidak berpuasa pada sepuluh hari Dzulhijjah, karena adanya halangan seperti sakit, bepergian dan lain-lain. Takwil lainnya pada Kitab Syarah Muslim yaitu Aisyah radhiyallahu anha tidak menemui beliau berpuasa pada hari-hari tersebut dan hal ini tidak serta merta menafikan puasa Rasulullah SAW pada kenyataannya (tanpa sepengetahuan Aisyah RA).

Penyelesaian Kontradiksi

Imam Ahmad menyelesaikan kontradiksi dua hadits di atas dengan menggunakan kaidah yaitu:

إن المثبت مقدم على النافي

Artinya: “Kalam mutsbat (positif) lebih diunggulkan daripada kalam nafi (negatif).”

Beliau menjadikan kedua hadits kontradiktif di atas sama-sama kuat, namun sebagian ulama menggugurkan keduanya karena hadits tersebut sama-sama kuat dan merujuk kepada hadits shahih Bukhari di atas. Sebagian ulama lainnya menilai kaidah tersebut tidak bisa dipakai dalam kasus ini karena hadits nafi derajatnya lebih kuat dari pada hadits mutsbat.

Terlepas dari uraian di atas, ada alasan lain dari puasa tarwiyah yaitu untuk ihtiyath (berhati-hati). Sayyid Bakri menjelaskan dalam Kitab I’anatut Thalibin yaitu:

(والأحوط صوم الثامن) أي لأنه ربما يكون هو التاسع في الواقع

Artinya: “Yang lebih hati-hati adalah berpuasa juga pada hari ke 8 Dzulhijjah (bersama puasa arafah), karena boleh jadi hari ke 8 itu ternyata hari ke 9 (arafah).”

Kata tarwiyah berasal dari bahasa Arab “Rawwa, yurawwi, tarwiyyan, tarwiyyatan” yang berarti berpikir atau merenung, karenanya hari Tarwiyah identik dengan keadaan berpikir dan merenung tentang peristiwa yang masih dipenuhi keraguan. Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya Kitab Mafatihul Ghaib berkata: “Terkait makna ini terdapat tiga versi yang menjadi latarbelakang penamaan tarwiyah,” yaitu:

Pertama

Pada hari Tarwiyah Nabi Adam ‘alaihis salam diperintahkan Allah untuk membangun Baitullah. Tatkala dia sedang membangunnya kemudian dia merenung dan berpikir, “pahalah apakah yang akan ia dapatkan dari pekerjannya?” Allah subhanahu wata’alaa menjawab:

إِذَا طُفْتَ بِهِ غَفَرْتُ لَكَ ذُنُوبَكَ بِأَوَّلِ شَوْطٍ مِنْ طَوَافِكَ

Artinya: “Jika engkau mengelilinginya maka Aku mengampuni dosa-dosamu dengan putaran pertama dari thawafmu.”

Nabi Adam alaihi sallam berkata: “Wahai tuhanku, Tambahkanlah!.” Allah menjawab:

أَغْفِرُ لِكُلِّ مَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الطَّائِفُوْنَ مِنْ مُوَحِّدِي أَوْلَادِكَ

Artinya: “Aku akan mengampuni setiap orang yang dimintakan ampunan oleh orang-orang yang thawaf yang ahli tauhid dari kalangan anak cucumu.”

Nabi Adam AS berkata: “Cukup wahai tuhanku, Cukup!.”

Kedua

Kisah tentang Nabi Ibrahim alaihis salam bermimpi seakan hendak menyembelih anaknya, lalu di pagi harinya dia berpikir (tarwiyah“apakah mimpi itu datang dari Allah atau dari setan.” Pada malam berikutnya (arafah), ia bermimpi lagi diperintah Allah untuk menyembelih anaknya dan ia berkata:

عَرَفْتُ يَا رَبِّ أَنَّهُ مِنْ عِنْدِكَ

Artinya: “Aku mengetahui Ya Allah bahwa hal itu (perintah menyembelih) adalah berasal dari-Mu.”

Ketiga

Penduduk Mekkah (jama’ah haji) pada hari tarwiyah keluar menuju Mina dan mereka berpifikir (tarwiyah) “doa apakah yang akan dipanjatkan esok harinya di Arafah.”

Kesimpulan

Menyinggung hadits di atas yang menjadi kontradiksi para ulama mengenai hukum puasa tarwiyah, sudah ditakwil bahwasannya puasa tersebuttidak sama sekali makruh, melainkan sunnah dan mendapatkan banyak keutamaan jika umat islam melaksanakannya, seperti menghapus dosa setahun sebelumnya, mendapat pahala, belajar menahan hawa nafsu, meneladani Rasulullah SAW dan membuang racun yang ada di dalam tubuh.

Wallohu A’lam
Oleh Firda Nur Intan

Editor: St. Chikmatul Haniah

Aktivis Dakwah, Penulis, Content creator, serta peniti karir akhirat dengan membangun rumah santri virtual melalui media sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator