Menikahi Wanita Hamil di Luar Nikah, Berikut Pandangan dalam Islam
TSIRWAH INDONESIA – Pernikahan dini merupakan topik yang sering dibahas dalam berbagai perspektif, termasuk dari sudut pandang Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan dianggap sebagai ibadah yang dianjurkan, karena dapat menjaga kesucian, menghindari perbuatan maksiat, dan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Namun, tidak jarang pernikahan dini terjadi dikarenakan married by accident atau yang kita kenal dengan hamil di luar nikah. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang fenomena tersebut? Berikut penjelasannya:
Islam Menanggapi Hamil di Luar Nikah
Fenomena hamil di luar nikah di masyarakat, memang masih dianggap aib keluarga. Akan tetapi, faktor globalisasi dan gaya pergaulanlah yang menjerumuskan kepada perbuatan zina, hingga terciptanya cabang bayi tanpa sanad.
Melansir dari nunganjuk.or.id, para ulama dan imam mazhab memiliki pendapat berbeda apakah pasangan zina tersebut perlu melakukan Tajdidun nikah. Tajdidun nikah merupakan pengulangan akad nikah setelah anak yang dikandung melahirkan, namun sebelum melaksanakan akad nikah.
Terdapat dua pandangan terkait pernikahan dengan wanita yang hamil di luar nikah, yang berkembang dalam kalangan ulama. Ada yang melarangnya, namun ada pula yang membolehkan dengan alasan-alasan tertentu. Berikut adalah penjelasan dari kedua pandangan tersebut:
1. Melarang Menikahi Wanita Hamil di Luar Nikah
Pandangan melarang seorang muslim menikahi wanita hamil diluar nikah, dikemukakan langsung oleh Imam Malik dan Imam Ahmad. Kedua Imam Mazhab itu sepakat sesuai dengan surah At-Thalaq ayat 4 yang berbunyi:
وَا لّۤـٰـئِـيْ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَآئِكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍ ۙ وَّا لّۤـٰـئِـيْ لَمْ يَحِضْنَ ۗ وَاُ ولَا تُ الْاَ حْمَا لِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۗ وَمَنْ يَّـتَّـقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ یُسْرًا
Artinya: “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya”.
Menurut pandangan Imam Malik, masa iddah berlaku bagi wanita yang sedang hamil, baik kehamilannya terjadi dalam status perkawinan yang sah maupun di luar nikah. Apabila akad nikah sudah dilakukan sebelum wanita tersebut melahirkan, maka setelah persalinan harus dilakukan tajdidun nikah, atau pembaruan akad nikah, untuk memastikan kesesuaian dengan aturan syariah.
Imam Ahmad sepakat dengan pernyataan Imam Malik, hanya saja ada penambahan syarat yaitu pasangan tersebut harus bertaubat atas zina yang mereka perbuat. Setelah itu, pasangan tersebut perlu melakukan tajdidun nikah setelah anaknya lahir.
Baca Juga:
2. Membolehkan Menikahi Wanita Hamil di Luar Nikah
Pandangan dua mazhab lainnya seperti Imam Syafi’i dan Imam Hanafi memperbolehkan menikahi wanita hamil di luar nikah. Melansir dari Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43, Imam Syafi’i berpendapat bahwa, “laki-laki yang menghamili atau tidak menghamili boleh menikahi wanita hamil tersebut.”
Menurut Imam Syafi’i, tidak perlu melaksanakan tajdidun nikah setelah lahirnya anak yang didalam kandungan tersebut. Sementara itu, Imam Hanafi memperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang berbunyi:
حَدَّثَنَا عَمْرُ بْنُ حَفْصِ الشَّيْبَا فِي الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ. حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ رَبِّيعَةَ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ يُسْرِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ ، عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ، عَنِ النَّبِيِّ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلَا يَسْقِ مَاءَهُ وَلَدَ
Artinya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka jangan sampai disiramkan air spermanya kepada janin milik orang lain,” (HR Ahmad).
Menurut Imam Hanafi, seorang pria yang menghamili wanita boleh menikahinya tanpa perlu melakukan tajdidun nikah setelah anak lahir. Jika pria yang menikahinya bukan yang menghamilinya, ia tidak boleh berhubungan suami istri hingga wanita tersebut melahirkan.
Bagaimana Nasab Bayi dalam Kandungannya
Melansir sumber yang sama, Imam Syafi’i menyebut jika seorang anak lahir setelah enam bulan pernikahan, maka nasabnya terhubung kepada suaminya. Namun, jika lahir sebelum enam bulan, nasabnya hanya terkait dengan ibunya.
Sementara itu, Imam Hanafi berpendapat bahwa anak yang lahir dari kehamilan di luar nikah tetap dinasabkan kepada pria yang menyebabkan kehamilan tersebut. Oleh karena itu, anak tersebut tidak secara otomatis dinasabkan kepada pria yang menikahi ibunya.
Para ulama sepakat bahwa nasab anak yang lahir dari kehamilan di luar nikah, tidak dihubungkan kepada ayah biologisnya. Nasab anak tersebut hanya terkait dengan ibunya dan keluarga ibunya, karena sang ibu yang melahirkan anak tersebut.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum tajdidun nikah berbeda di antara para ulama. Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, tajdidun nikah wajib dilakukan. Sementara, menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, tajdidun nikah tidak diperlukan karena pernikahan pertama sudah dianggap sah.
Demikian Informasi Menikahi Wanita Hamil di Luar Nikah, Berikut Pandangan dalam Islam
Wallohu A’lam
Oleh Raihan Arsy Mauly