Hukum Wanita Haid Belajar di Masjid, Berikut Penjelasan Fiqihnya
TSIRWAH INDONESIA – Islam merupakan agama sempurna yang memberikan solusi permasalahan dalam setiap kehidupan sehari-hari. Satu di antaranya adalah permasalahan yang dialami perempuan yaitu haid.
Definisi Haid dalam Kajian Islam
Berdasarkan buku Haid dan Nifas dalam Mazhab Syafi’i karangan Munir bin Husain Al-‘Ajuz, haid secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu haidhatil mar’atu tahidhan fahiya haid artinya seorang perempuan mengeluarkan darah haid, maka dia adalah perempuan yang mengalami haid.
Pada dasarnya haid bermakna sailan yaitu mengalir, berasal dari ucapan orang-orang Arab yaitu Haadha al wadi artinya lembah yang mengalir. Disebut haid karena mengalirnya darah pada waktu-waktu tertentu, seperti halnya mengalirnya air di suatu lembah ketika turun hujan.
Dari sisi ilmu syariah, haid merupakan darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah baligh selama waktu tertentu, bukan karena faktor melahirkan atau penyakit. Adapun ciri-ciri darahnya berwarna merah kehitaman, bersifat panas dan mempunyai bau yang tidak sedap.
Pendapat ini berdasarkan pada referensi dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abu Hubaisy:
إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ, فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ اَلصَّلَاةِ, فَإِذَا كَانَ اَلْآخَرُ فَتَوَضَّئِي, وَصَلِّي” – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ, وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِم
Artinya: “Sesungguhnya darah haid itu warnanya kehitam-hitaman sebagaimana sudah dikenal. Jika yang keluar darah dengan ciri seperti itu, maka jangan kerjakan sholat, namun jika yang keluar selain itu, maka berwudhulah lalu kerjakan sholat, sebab itu hanyalah darah yang keluar dari urat,” (HR Ahmad, Hakim dan Abu Dawud).
Perbedaan Masjid dan Mushola
Masjid secara bahasa berasal dari kata (السَّجْدَة), artinya sujud, ditambahkan imbuhan huruf mim di depannya, dengan struktur (wazan) kata مَفْعِل, yang mengandung arti tempat. Struktur katanya menjadi masjid (مَسْجِد), artinya tempat untuk sujud.
Mushola secara bahasa berasal dari kata (الصَّلاة), yaitu sholat, ditambahkan imbuhan huruf mim, yang mengandung arti tempat, sehingga artinya tempat sholat.
Secara istilah syar`i, masjid mempunyai dua makna yang tercantum di dalam kitab I’lamus Sajid Bi Ahkamil Masajid karya Imam Az-Zarkasyi. Secara umum sejatinya tempat untuk sujud secara syariat, tidak terkhusus pada suatu tanah tertentu, melainkan menyeluruh di semua permukaan bumi, seperti dalam hadis:
عَنْ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ.
Artinya: “Dari Jabir ibn Abdillah, dia berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun dari nabi-nabi sebelumku: Aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka dari jarak sebulan perjalanan, bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud (masjid) dan suci, maka di mana saja seorang laki-laki dari umatku mendapati waktu sholat hendaklah ia sholat, dihalalkan harta rampasan untukku, para nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia, dan aku diberikan (hak) syafaat,” (HR Muttafaq ‘Alaih).
Makna masjid secara khusus berlandaskan pada urf (adat istiadat fiqih), memiliki arti tempat yang sengaja dipersiapkan hanya untuk sholat lima waktu, sehingga tanah lapang untuk tempat sholat id dan semacamnya tidak bisa dihukumi dengan masjid. Dalam makna khusus ini, masjid hanyalah tempat yang diperuntukan dengan jalan wakaf, sebagai tempat sholat lima waktu.
Adapun aturan wakaf, kepemilikan berpindah kepada Allah semata, tidak dimiliki oleh individu manapun. Imam An-Nawawi menjelaskan di dalam kitab Minhajut Thalibin:
الأًظْهَرُ أَنَّ المِلْكَ فِي رَقَبَةِ المَوقُوفِ يَنْتَقِلُ إِلَى اللهِ تعالى، أَيْ يَنْفَكُّ عَن اخْتِصَاصٍ لِآدَمِيٍّ فَلَا يَكُونُ لِلْوَاقِفِ ولَا لِلْمَوقُوفِ عَلَيهِ
Artinya: “Pendapat yang paling unggul adalah bahwa kepemilikan dalam benda yang diwakafkan, berpindah hanya milik Allah semata, maksudnya terputusnya hubungan dari kepemilikan khusus untuk individu tertentu, maka bukan lagi milik pewakaf atau pihak yang diwakafkan.”
Wakaf sebagai tempat sholat lima waktu menjadi ciri masjid, sehingga tidak dimiliki personal, sedangkan mushola, boleh untuk dimiliki oleh orang khusus atau tidak, dengan adanya perwakafan tempat untuk sholat lima waktu secara khusus, maka tempat tersebut disebut masjid dan berlaku hukum-hukum, di antaranya:
1. Disunahkan tahiyat masjid
2. Berlakunya i’tikaf
3. Thawaf (di Masjidilharam)
4. Haram bagi orang berhadas besar untuk menetap di dalamnya
Adapun yang tidak diwakafkan untuk menjadi masjid, maka disebut mushola. Sehingga disimpulkan, setiap masjid pasti mushola, dan tidak setiap mushola itu masjid.
Hukum Perempuan Haid di dalam Masjid Menurut Ulama
Hukum dasar bagi seorang wanita haid, junub ataupun nifas berdiam diri dalam masjid adalah haram, pendapat ini berlandaskan pada ibarot dari maushuah fiqhiyyah yaitu:
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى حُرْمَةِ اللُّبْثِ فِي الْمَسْجِدِ لِلْحَائِضِ، لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ أُحِل الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ (٢) وَيَنْدَرِجُ فِيهِ الاِعْتِكَافُ كَمَا صَرَّحَ الْفُقَهَاءُ بِذَلِكَ.
Artinya: “Para Ahli fiqih sepakat haramnya berdiam diri di dalam masjid bagi wanita haid, berdasarkan sabda Nabi: ‘Masjid tidak halal bagi perempuan haid dan orang junub’. Dan i’tikaf termasuk ke dalam keharaman tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh para fuqoha.”
Adapun pendapat lain mengatakan, ketentuan ini diberikan pengecualian yang didasarkan pada nash-nash syar’iyah, bahwa dibolehkan bagi wanita untuk duduk atau sekedar berjalan di dalamnya, dengan syarat memang dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan Alquran surah An-Nisa ayat 43:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا
Artinya: “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub).”
Memaknai dalil pelarangan wanita haid yang berdiam diri dalam masjid, ulama fiqih berbeda pendapat dalam menjelaskannya. Secara mutlak, mazhab Maliki mengharamkan wanita haid untuk lewat atau berdiam di dalam masjid, kecuali ada kebutuhan mendesak seperti menghindari diri dari ancaman.
Dalam literatur fiqih ulama mazhab Syafii dan Abu Hanifah menegaskan wanita yang sedang haid, junub ataupun nifas haram baginya berdiam diri dalam masjid, namun jika hanya untuk lewat karena suatu kebutuhan ataupun tidak dan yakin darahnya tidak menetes maka hukumnya makruh. Adapun alasan tidak dibolehkan ini karena kekhawatiran akan mengotori masjid.
Dalam mazhab Hambali menegaskan wanita junub atau haid boleh berjalan dan berdiam dalam masjid, apabila darahnya sudah mengering (tapi belum mandi) serta aman tidak akan menetes dan mengotori masjid, juga harus berwudhu terlebih dahulu.
Berdasarkan pendapat ulama fiqih di atas maka disimpulkan, bagi seorang wanita yang masih haid maka dilarang baginya untuk berdiam dan berlama-lama di masjid. Namun, dilihat dari kondisi sekarang literatur keislaman kerap dilaksanakan di masjid maka konsep yang perlu kita perhatikan adalah kita harus bijak dalam membedakan antara mushola dan masjid.
Apabila kajian dilaksanakan di masjid maka berlaku hukum-hukum khusus di atas. Adapun bagi seorang wanita yang ingin mengambil faidah dari kajian maka bisa menggunakan alternatif lain berupa rekaman. Namun jika dilaksanakan di tempat sekitaran masjid yang tidak diwakafkan sebagai masjid (mushola), maka diperbolehkan wanita haid untuk menetap di dalamnya.
Wallohu A’lam
Oleh Rahmiwati Abdullah