Fiqih & AkidahMuslimah

5 Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Masa Iddah, Nomor 5 Wajib Tahu

TSIRWAH INDONESIA –  Perempuan yang cerai dengan suaminya, baik karena ditalak atau ditinggal wafat, maka sang istri memiliki masa ‘iddah. Menurut agama islam salah satu tujuan masa ‘iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim, sehingga tidak tercampur nasab anak, apakah ia dari mantan suaminya atau suami yang baru.

Lebih detail islam menjelaskan makna masa ‘idddah. Sebagaimana penjelasan dari Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya yang berjudul Fiqhul Islami wa Adillatuhu mendefinisikan masa ‘iddah adalah:

مدة حددها الشارع بعد الفرقة يجب على المرأة الانتظار فيها بدون زواج حتى تنقضى المدة

Artinya: “Masa yang telah ditentukan Allah setelah bercerai, yang mewajibkan seorang perempuan untuk menunggu, tanpa menikah sampai selesai masanya.”

Perempuan yang berada pada masa ‘iddah disebut dengan perempuan mu’taddah. Berikut hak dan kewajibannya yang telah ditetapkan dalam islam, di antaranya:

Perempuan mu’taddah baik karena ditalak, maupun karena ditinggal wafat suami, haram untuk dilamar dengan khitbah tashrih. Khitbah tashrih adalah lamaran dengan menggunakan lafadz yang menunjukkan keinginannya untuk melamar, tanpa ada kemungkinan maksud lain. 

Namun perempuan mu’taddah karena sebab wafat suaminya, boleh dilamar dengan khitbah ta’ridh. Adapun perempuan mu’taddah karena sebab talak, tidak boleh dilamar dengan khitbah ta’ridh.

Khitbah ta’ridh adalah lamaran dengan menggunakan lafadz yang memiliki dua kemungkinan, apakah untuk melamar atau maksud lain. Allah shubhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 235:

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ

Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran…”

Melalui dalil di atas, maka perempuan mu’taddah, baik karena ditalak atau ditinggal wafat suaminya, tidak boleh dilamar secara tashrih maupun ta’ridh,kecuali perempuan mu’taddah karena sebab wafat suaminya, ia boleh dikhitbah secara ta’ridh.

Baca Juga: Fatimah Az-Zahra: Wanita Penghulu Surga, Simak Penjelasan 

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 235:

…وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ 

Artinya: “… Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.”

Perempuan mu’taddah karena sebab ditalak atau ditinggal wafat, tidak boleh keluar dari rumahnya, dan suami yang menceraikan tidak boleh mengeluarkan istrinya dari rumah tanpa sebab. 

Allah SWT berfirman dalam surah At-Talaq ayat 1:

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

Artinya: “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.”

Dewasa ini, sangat sering kita jumpai terutama di kalangan public figure, perempuan yang ditalak suaminya malah semakin aktif untuk keluar rumah, dan mengacuhkan tuntunan syari’at untuk tetap diam di rumah. 

Perempuan mu’taddah karena sebab talak roj’i (bisa dirujuk) berhak mendapatkan hak nafkah dan tempat tinggal dari suami yang mentalaknya, sedangkan perempuan yang ditalak ba’in (tidak bisa dirujuk) berhak mendapat tempat tinggal tanpa nafkah, kecuali jika dalam keadaan hamil. 

Adapun perempuan mu’taddah karena sebab wafat, tidak ada nafkah baginya, walaupun dalam keadaan hamil, karena tidak ada kewajiban nafkah bagi suami disebabkan hilang kepemilikannya setelah wafat. 

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Abu Suja’ dalam kitabnya Al-Ghoyah wa At-Taqrib:

ويجب للمعتدة الرجعية السكني والنفقة ويجب للبائن السكني دون النفقة إلا أن تكون حاملا

Artinya: “Dan wajib bagi perempuan mu’taddah dari talak roj’i (bisa dirujuk) diberi tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan perempuan yang ditalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tanpa nafkah, kecuali jika dalam keadaan hamil.”

Larangan ini khusus untuk perhiasan dan wewangian yang dipakai di badan. Adapun untuk menghias rumah, gorden, dan memperindah perabotan rumah, hukumnya boleh.

Begitupula dibolehkan untuk memakai perhiasan dan wewangian untuk kerabat dekat seperti ayah, ibu, dan saudara laki-laki selama tiga hari saja setelah cerai. Adapun membersihkan diri, memakai sabun, menggunting kuku, dan seterusnya, ini tidak dilarang syari’at. 

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Artinya: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan ihdad (berduka cita dengan meninggalkan berhias) terhadap mayyit melebihi tiga hari, kecuali kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari,”(HR Muslim).

Demikianlah lima hak dan kewajiban bagi seorang perempuan mu’taddah. Semoga kita menjadi hamba Allah SWT yang memperhatikan batasan sesuai syari’at, aamiin.

Wallahu a’lam
Oleh Muhammad Bukhori

Editor: Muhammad Agus

Alumni Ponpes As'adiyah, Saat ini menempuh strata 1 di STKQ Al-Hikam Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator