Akhlak

Jangan Asal Emosi, Kenali Emosi Berkualitas Berbasis Spiritual

TSIRWAH INDONESIA – Dunia bersifat kejam bagi insan yang mengejar takwa, akan ada berjuta-juta ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kita para hamba-Nya, tidak jarang ada yang menyerah, stres, hingga depresi karena lelah atas ujian yang diberikan oleh Allah hingga perlahan menjauh dari-Nya

Lelah merupakan respon alami manusia, dan semua orang pasti akan merasakannya selama berada di dunia. Terkadang beberapa di antara kita hidupnya terlihat sangat bahagia, seperti tidak ada kerikil dalam kehidupannya, hingga kita merasa kecil hati dan menjadikan perbandingan antara hidup sendiri dengan hidup orang lain.

Berbagai pertanyaan kadang terlontar dari hati, kapan ini berakhir, mengapa Allah tidak adil hingga terus memberikan ujian yang membuat sakit, ingin berhenti dan menyerah. Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada Qur’an surah Al-Baqarah ayat 286:

لَا  يُكَلِّفُ  اللّٰهُ  نَفْسًا  اِلَّا  وُسْعَهَا   ۗ لَهَا  مَا  كَسَبَتْ  وَعَلَيْهَا  مَا  اكْتَسَبَتْ   ۗ رَبَّنَا  لَا  تُؤَاخِذْنَاۤ  اِنْ  نَّسِيْنَاۤ  اَوْ  اَخْطَأْنَا   ۚ رَبَّنَا  وَلَا  تَحْمِلْ  عَلَيْنَاۤ  اِصْرًا  كَمَا  حَمَلْتَهٗ  عَلَى  الَّذِيْنَ  مِنْ  قَبْلِنَا   ۚ رَبَّنَا  وَلَا  تُحَمِّلْنَا  مَا  لَا  طَا قَةَ  لَنَا  بِهٖ   ۚ وَا عْفُ  عَنَّا   ۗ وَا غْفِرْ  لَنَا   ۗ وَا رْحَمْنَا   ۗ اَنْتَ  مَوْلٰٮنَا  فَا نْصُرْنَا  عَلَى  الْقَوْمِ  الْكٰفِرِ يْنَ

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”

Kesabaran tidak ada batasnya merujuk kepada orang yang memiliki kecerdasan emosi, sehingga dia bisa kuat dan terus bangkit, dari pandangan tersebut seseorang bisa berekspresi melampiaskan emosinya, sedih, marah, kecewa, senang tapi tetap dengan dinamika kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ).

Emosi dapat menggambarkan nilai dari kualitas diri seseorang high value atau low value, serta sebagai penunjang kreativitas dan produktivitas seseorang. Surutnya kecerdasan emosi membawa dampak psikologis sosial yang mengarah ke kejiwaan, sehingga seseorang bisa bersikap kurang percaya diri, tidak jujur, kebosanan, dan kondisi-kondisi psikis lainnya. 

Salah satu upaya yang perlu dilakukan saat dunia memperlihatkan kekejamannya dengan menerapkan konsep kecerdasan emosional berbasis spiritual. Kecerdasan emosional sebagai bentuk sikap bijaksana, sikap tenang dalam menghadapi situasi, baik untuk diri sendiri maupun orang lain dengan dilandaskan kecerdasan spiritual. 

Mekanisme Kecerdasan Emosi Berbasis Spiritual

Kecerdasan intellectual quotient (IQ) sudah tidak asing didengar, kecerdasan tersebut bercermin kepada pembelajaran dan pengalaman hidup. Kepintaran seseorang (IQ) dijadikan patokan atas kebanggaan dan keberhasilan yang akan diraih pada masa yang akan datang. 

Berbeda dengan kecerdasan emotional quotient (EQ) yang melebihi tingkatan IQ, jika IQ hanya berbicara tentang pengetahuan, EQ lebih memfokuskan responsibilitas terhadap apa yang sedang dialami, mempunyai kemampuan resolusi konflik yang dapat meminimalisir respon psikis, selain itu EQ juga berfokus kepada nilai-nilai spiritual yang ada dan menjadi kiblat kepada siapa kita tunduk.

Nasihat indah Imam Syafi’i yang dituliskan oleh Bambang Irawan, beliau seorang guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta. Kutipan itu bertuliskan, “jagalah lidahmu kawan agar ia tidak menyengat mu, karena lidah tidak ubahnya ular berbisa. Banyak orang yang binasa akibat perbuatan lidahnya, padahal dulu mereka dihormati kawan-kawannya.”

Orang berilmu cenderung lebih mudah mengalami kegagalan dan frustasi akibat emosi negatif yang disalurkan, sekalipun ahli ibadah yang memiliki IQ tinggi tetapi tidak memiliki EQ dan cenderung memiliki sikap responsibilitas negatif akan berpengaruh terhadap ibadah yang dikerjakannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Qur’an surah Muhammad ayat 33:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوٓا۟ أَعْمَٰلَكُمْ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.”

Aspek pendukung dari terbentuknya kecerdasan emosi berlandaskan spiritual ialah iman, aqidah, akhlak, Ilmu Fiqh, Al-Qur’an, dan Hadits. Ditinjau dari point tersebut seorang hamba akan bisa memaknai hubungan dengan Allah, hubungan dengan orang lain, hubungan dengan dirinya sendiri, dan hubungan dengan makhluk-makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Emotional Quotient di Zaman Rasulullah 

Kecerdasan emosi sudah tergambar sejak zaman Rasullullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Saat lelaki bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al-Yamamah hendak ke Madinah dengan tujuan ingin membunuh Rasulullah, dengan emosi yang meluap-luap Tsumamah mencari nabi, namun Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu melihat gelagat buruk terhadapnya hingga mengetahui tujuan dari Tsumamah yang ingin membunuh Nabi Muhammad SAW.

Ketika itu Umar menyerang dan mengikatnya di tiang masjid, lalu mengadukan kepada rasul, dan rasul mendatangi Tsumamah dengan tampak gagah, tenang, dan berwibawa. Di luar perkiraan sahabat rasul, ketika rasul memerintahkan kepada sahabatnya untuk memberikan makan dan minum kepada Tsumamah, dan ketika selesai makan, rasul memerintahkan Tsumamah untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.

Tsumamah tentu menolak permintaan Rasulullah, lalu dengan perasaan geram sahabat rasul melepaskan Tsumamah atas perintah rasul. Siapa sangka sikap dermawan nan bijaksana dari rasul mengetuk hati Tsumamah dan memilih kembali ke hadapan rasul, dan kemudian mengucap dua kalimat syahadat. Tsumamah yang tadinya membenci rasul berubah menjadi mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Kesimpulan

Kecerdasan emosi terbentuk karena keyakinan dan iman yang kuat, berfikir secara rasional dan penjiwaan tenang dapat membentuk kualitas diri (value) lebih meningkat, sehingga dapat berempati atau lebih peka terhadap orang lain. Kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kiblat menyikapi atau merespon berbagai problematika dalam diri maupun orang lain, untuk itu SQ, EQ dan IQ tetap saling terikat agar bisa terbentuk menjadi kesatuan yang utuh.

Wallohu A’lam
Oleh Dwi Putri Ayu

Editor: Dewi Anggraeni, S.Hum

Aktivis dakwah, jurnalis, interpersonal skill, tim work, content creator, dan emotional management.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator