Masa Dakwah Tersulit Rasulullah: Benarkah Islam Pernah Diboikot, Simak
TSIRWAH INDONESIA – Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam selaku nabi terakhir yang membawa risalah kenabian, menerima banyak rintangan dan cobaan selama berdakwah.
Cobaan dalam dakwah bisa dalam bentuk ancaman, cobaan pembunuhan, peperangan, maupun penyiksaan kepada para sahabatnya.
Dari seluruh cobaan, terdapat satu momen yang sangat terkenal yaitu pemboikotan oleh kaum kafir. Untuk lebih jelasnya, berikut uraiannya:
Awal Mula Terjadinya Pemboikotan
Periode Makkah merupakan dakwah yang berat bagi Rasulullah SAW. Hal ini disebabkan karena waktu yang dihabiskan untuk berdakwah lebih panjang (13 tahun), daripada periode Madinah (10 tahun).
Selain itu, Makkah adalah tempat kerabat dekat Rasul tinggal. Berbagai cobaan dan rintangan ia hadapi baik itu dari suku maupun keluarganya sendiri.
Setelah sekian banyak upaya mencelakai Rasulullah SAW dan umatnya gagal, umat Islam semakin berkembang, kaum kafir Quraisy bersepakat untuk melakukan boikot kepada mereka.
Dalam buku Sirah Ibnu Hisyam dijelaskan bahwa sebelum pemboikotan, perkembangan islam tampak dengan islamnya orang penting seperti Umar bin Khattab dan Hamzah bin Abdul Mutthalib.
Selain itu, umat islam mulai mendapat simpati dari Raja Najasi di Habasyah (Ethiopia) setelah perintah hijrah yang pertama.
Melihat kuatnya dukungan politik serta masuknya orang-orang kuat, kaum kafir Quraisy tidak berani menentang umat islam secara fisik. Jalan satu-satunya adalah dengan pemboikotan.
Dalam buku berjudul Fatimah Pemimpin Wanita di Surga, pemboikotan ini bukan hanya menyasar kaum muslimin saja, melainkan juga keluarga Bani Hasyim dan Abdul Mutholib.
Ketiga kelompok yang diboikot ini, dikarenakan ikatan keimanan dan kesukuan. Kejadian ini dilakukan di syi’ib Abdul Mutholib (celah sempit antara dua gunung di Makkah).
Mengutip buku Sirah Nabawiyah, inti dari perjanjian tersebut tertera dalam dua, yaitu tidak boleh menikahi perempuan dari bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib begitu juga sebaliknya, tidak boleh melakukan transaksi ekonomi.
Dalam buku yang berjudul Hidup Bersama Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam, isi pemboikotan tersebut ditulis dalam selembar kulit yang di tempel di salah satu sudut Ka’bah.
BACA JUGA : Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid: Pendamping Dakwah Pertama Rasulullah
Masa-Masa Sulit Pemboikotan
Masa ini disebut masa tersulit, karena Rasulullah SAW dan para sahabatnya terputus hubungan baik secara sosial maupun ekonomi dengan dunia luar.
Setiap upaya transaksi yang melibatkan kaum muslimin selalu dihadang oleh kaum kafir Quraisy yang memusuhi, termasuk pamannya sendiri, yaitu Abu Lahab dan Abu Jahal.
Pemboikotan dimulai pada tahun ke tujuh kenabian (617M) sampai tahun ke sepuluh (619M). Beratnya cobaan ini digambarkan dengan sulitnya mendapatkan makanan dan minum yang layak oleh para sahabat.
Mengutip buku yang berjudul Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, diterangkan bahwa kaum muslimin mengambil apa saja yang layak untuk dimakan seperti dedaunan dan kulit pohon.
Meski dalam kondisi sulit, terdapat beberapa momen mereka sedikit mendapat kebebasan seperti pada bulan-bulan haram (Qa’idah, Zul Hijjah, Muharram, dan Rajab).
Pada bulan-bulan tersebut, kaum muslimin dapat keluar dari pengucilan dikarenakan bulan-bulan tersebut disucikan oleh segenap bangsa Arab.
Di kala sulitnya mendapat makanan layak, beberapa penduduk Makkah yang memiliki simpati pada kerabat muslim, mengirim sejumlah makanan dan pakaian.
Mengutip buku berjudul Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan & Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, dijelaskan bahwa salah seorang penduduk bernama Hisyam bin Amr al-Amiri secara diam-diam mengirim bantuan berupa air dan makanan melalui unta-untanya kepada kaum muslimin.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Hisyam bin Hizam yang merupakan keponakan istri Rasulullah SAW, Khadijah binti al-Khuwailidi.
Kedua orang tersebut bukanlah muslim, tetapi memiliki simpati pada Rasulullah SAW dan umatnya atas dasar kekerabatan dan kemanusiaan.
Upaya mereka untuk mengirim bantuan tidak selalu menemui jalan yang mulus. Pernah suatu kali Abu al-Bukhtair, salah seorang sahabat Hisyam hendak mengirim bantuan ke syi’ib.
Saat perjalanan ia dihadang oleh Abu Jahal yang hendak merampas barang bawaan al-Bukhtair. Berawal dari negosiasi sampai perkelahian tidak jarang terjadi akibat kejadian tersebut.
Alasan bukan hanya umat muslim saja yang diboikot dikarenakan Bani Hasyim dan Bani Al-Mutholib merupakan pendukung umat muslim, sehingga mereka sulit dikalahkan. Dengan memboikot kedua kabilah tersebut, diharapkan dapat melemahkan dukungannya terhadap kaum muslimin sehingga mereka dapat dikalahkan.
Berakhirnya Pemboikotan
Pemboikotan yang terjadi selama tiga tahun tersebut sangat menyengsarakan kaum muslimin. Banyak anak-anak dan wanita yang kelaparan.
Dengan kian menipisnya bahan makanan, timbul rasa iba dari penduduk Makkah atas kondisi Rasulullah SAW dan pengikutnya. Pada akhirnya pemboikotan ini berakhir pada tahun sepuluh kenabian.
Dalam buku berjudul Al-Rahiq Al-Makhtum: Sirah Nabawiyah dikatakan bahwa, orang yang memprakarsai berakhirnya pemboikotan adalah Hisyam bin Amru bin Lu’ay.
Setelah Hisyam, muncul empat sosok lainnya yang turut bersimpati pada kondisi kaum muslimin yang memprihatinkan yaitu, Zuhair bin Abi Umaiyyah al-Makhzumi, Muth’im bin Ady, Abdul Bukturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin Aswas bin Muthalib bin Asad.
Kelima tokoh tersebut lantas pergi menemui kaum kafir Quraisy yang memusuhi umat islam untuk mengutarakan tuntutannya untuk membatalkan perjanjian pemboikotan.
Meski sempat mendapat pertentangan dari Abu Jahal, pemboikotan tetap dibatalkan setelah piagam perjanjian yang ditempel di Ka’bah habis dimakan rayap.
Setelah tahu bahwa piagam perjanjian tersebut rusak, Muth’im bin Ady bangkit untuk merobeknya. Dengan demikian berakhirlah penderitaan Rasulullah SAW dan umatnya dalam pengasingan.
Pasca pengasingan, Rasulullah SAW menjalani dakwah seperti biasa. Enam bulan setelah bebas, Rasulullah SAW kehilangan paman tercintanya Abu Thalib di usia yang telah uzur.
Kesedihan tersebut di ikuti oleh berpulangnya istri tercinta, Khadijah al-Kubra di usianya yang menginjak enam puluh lima tahun.
Wallohu A’lam
Oleh Ustadz Muhammad Wildan Amri