Mengapa Al-Qur’an Butuh Penafsiran, Berikut 4 Alasannya, Simak
TSIRWAH INDONESIA – Ulama memandang tafsir memiliki peran yang besar dalam memahami Al-Qur’an, sebab tanpa tafsir, pesan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia tidak dapat berfungsi secara optimal.
Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, tidak serta merta langsung bisa dipahami maksudnya. Oleh karena itu, Al-Qur’an membutuhkan penafsiran.
Pengertian Tafsir
Tafsir adalah salah satu bagian ilmu-ilmu Al-Qur’an yang membahas tentang cara menjelaskan atau menyingkap kandungan makna ayat-ayat Al-Qur`an dengan segenap ilmu pendukungnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tafsir diartikan sebagai keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an, agar maksudnya lebih mudah dipahami.
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Kaidah Tafsir menjelaskan, bahwa kata tafsir diambil dari kata fassara yang artinya kesungguhan membuka atau upaya yang serius untuk menjelaskannya.
Sehingga menurut Quraish Shihab, tafsir adalah kesungguhan dan upaya yang berkali-kali untuk menjelaskan makna sulit dari Al-Qur’an, seperti kosakatanya.
Menurut Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya yang berjudul Al-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, beliau menjelaskan pengertian tafsir sebagaimana berikut:
التفسير هو المفتاح لهذه الكنوز والذخائر التي احتواها هذا الكتاب المجيد و بدونه لا يمكن الوصول إلى هذه الكنوز والذخائر و اللا لى و الجواهر
Artinya: “Tafsir adalah kunci untuk membuka gedung simpanan yang terhimpun dalam Al-Qur’an mulia. Tanpa tafsir, seseorang tidak akan mungkin dapat membuka gedung simpanan tersebut, yang di dalamnya terdapat mutiara dan permata.”
BACA JUGA: 4 Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an, Berikut Penjelasannya
4 Hal yang Membuat Al-Qur’an Membutuhkan Penafsiran
Muhammad Afifuddin Dimyathi menjelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ilm al-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, bahwa ada beberapa hal menjadi dasar perlunya penafsiran dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Pertama, beberapa ayat Al-Qur’an mempunyai asbabun nuzul atau sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an. Agar terhindar dari kesalahpahaman, menjadi penting untuk melacak histori turunnya ayat tersebut.
Asbabun nuzul ini merupakan salah satu perangkat ilmu tafsir dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagai contoh, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah, ayat 118:
وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Artinya: “Terhadap tiga orang yang ditinggalkan (dan ditangguhkan penerimaan tobatnya) hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun (terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Tentunya, ketika tidak merujuk kepada sababun nuzul atau sebab turunnya ayat di atas, maka akan kesulitan mengetahui tiga orang yang dimaksud dalam ayat tersebut.
Kedua, dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mujmal atau global. Contohnya ayat yang berkaitan tentang perintah sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Al-Qur’an tidak menjelaskan secara detail terkait pelaksanaan perintah tersebut.
Maka perincian ayat ini dapat ditemukan melalui perbuatan, perkataan, dan persetujuan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Penjelasan inilah kemudian dikenal juga dengan tafsir bi al-naqli atau bi al-riwayah.
Ketiga, Al-Qur’an mengandung ayat mutasyabihat atau ayat yang masih samar maknanya. Ayat ini tidak bisa diartikan langsung dengan secara zahir, karena memungkinkan beberapa pemahaman yang terkandung di dalamnya.
Menurut Kiai Afifuddin Dimyathi, ayat ini hanya bisa dipahami maknanya dengan menyandingkan dengan ayat yang muhkamat atau ayat yang jelas maknanya.
Keempat, proses turunnya Al-Qur’an tidak sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur. Sehingga, hal itu menyebabkan terpisahnya pembahasan tema ayat dengan ayat yang lain di beberapa surah.
Maka untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif, ayat yang mempunyai tema yang sama dikaitkan dengan ayat lainnya, sehingga mendapatkan makna yang utuh.
Sebagai contoh, dalam surah Al-Maidah ayat 3, Allah berfirman tentang keharaman memakan darah. Redaksi ayatnya sebagaimana berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ …
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah….”
Berdasarkan ayat di atas, penyebutan tentang keharaman memakan darah masih bermakna umum, sehingga untuk memahami kandungan ayat tersebut secara utuh dihubungkan dengan ayat yang lainnya. Yaitu pada surah Al-An’am ayat 145. Allah berfirman:
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا…
Artinya: “Katakanlah, tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir….”
Maka ketika menggabungkan kedua ayat di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
Demikianlah beberapa alasan terkait pentingnya penafsiran dalam memahami Al-Qur’an, karena tafsir mempunyai peran penting dalam menjelaskan Al-Qur’an, agar mudah dipahami dan dijadikan pedoman oleh umat manusia.
Wallohu A’lam
Oleh Ustadz Muhammad Agus