AkhlakHikmah & Wawasan

Bangga Dipuji, Hilangkan dengan 2 Cara Ini

TSIRWAH INDONESIA – Banyak dari kita berharap akan adanya apresiasi atau pujian dari prestasi yang telah kita capai. Baik itu datangnya dari orang tua, kerabat, teman, maupun orang lain.

Pada umumnya kita sering mengharapkan pujian, agar bisa lebih giat lagi dalam bekerja ataupun meraih prestasi yang lebih tinggi dari sebelumnya. 

Perlu dicatat, dampak pujian dapat berpotensi berubah menjadi malapetaka. Mengapa demikian? Karena pujian sangat rentan membuat kita terlena. Lebih jauh membuat kita terjebak dalam rasa ujub hingga sombong.

Semua itu tergantung dan kembali kepada kita. Bagaimana cara kita menyikapinya? Apakah dengan bersyukur ataukah malah berbuat kufur dengan bangga diri.

Cara untuk menangkal dari sifat buruk tersebut hadir di kala kita menerima pujian, ada dua hal yang bisa dilakukan sebagaimana berikut:

Meyakini dalam hati bahwa Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya Dzat yang layak dipuji. Karena Dia-lah yang menganugerahkan nikmat kepada kita. Tanpa pertolongan-Nya nihil kita akan berhasil.

Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitabnya Al-Hikam pernah berkata yaitu sebagai berikut:

 مَنْ أَكْرَمَكَ إنَّما أَكْرَمَ فِيْكَ جَميلَ سَتْرِهِ. فَالحَمْدُ لِمَنْ سَتَرَكَ، لَيْسَ الحَمْدُ لِمَنْ أَكْرَمَكَ وَشَكَرَكَ.

Artinya: “Siapapun orang yang memuliakanmu sungguh dia memuliakan indahnya penutup (aibmu). Maka segala puji bagi Dzat yang telah menutupi (aibmu), bukan kepada orang yang memuliakan atau berterima kasih padamu.”

Imam Ibnu Athaillah ingin menegur kita ketika menerima pujian. Apa yang dilihat orang lain berupa kebaikan dan pencapaian yang kita lakukan hakikatnya itu adalah pemberian dari Allah SWT.

Sebagai hamba, kita bukanlah siapa-siapa. Justru kita dipenuhi dengan rentetan kekurangan dan kesalahan. Kita sendiri malu jika hal tersebut terlihat dalam pandangan orang lain. 

Allah-lah yang menghijabnya sehingga tidak satupun orang mengetahuinya. Kemudian, dengan kemurahan-Nya, menyelimuti aib keburukan diri kita dengan kebaikan. Sehingga, orang lain tidak mengenali kita kecuali sebagai orang yang sholeh dan terpuji.

Maka dari itu, termasuk kekeliruan besar tatkala kita menempatkan pujian bukan pada tempatnya. Karena hanya Allah-lah yang berhak dipuji dan disanjung, bukan diri kita.

Selalu meminta perlindungan dengan berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari bahayanya dampak pujian. Dalam hal ini, ada sebuah doa yang diajarkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebagaimana tercantum dalam hadits nabi berikut ini:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى، وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ، وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ، وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Artinya: “Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri, dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka,” (HR Al-Baihaqi).

Doa ini layak diamalkan agar kita tidak terkena dampak negatif dari pujian orang terhadap kita. 

Dua cara tersebut perlu kita lakukan agar kita terhindar dari sifat bangga diri dan sombong. Memantapkan keyakinan dalam hati bahwa Allah satu-satunya yang patut dipuji. Kemudian, terus berdoa agar menjadi perisai dari timbulnya sifat-sifat buruk tersebut.

Wallohu A’lam
Muhammad Izharuddin

Editor: Dewi Anggraeni, S.Hum

Aktivis dakwah, jurnalis, interpersonal skill, tim work, content creator, dan emotional management.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator