Kepemimpinan: Benarkah Wanita Dilarang untuk Menjadi Pemimpin, Ini Jawabannya
TSIRWAH INDONESIA – Al-Qur’an dan hadis Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah menegaskan secara jelas mengenai permasalahan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan mendapatkan konsekuensi pahala yang sama. Problematika paling penting pada masa ini adalah peran aktif wanita dalam urusan umum.
Banyak orang yang mengatakan bahwa wanita dilarang untuk menjadi pemimpin karena berdasarkan hadis dari Abi Bakrah yang hanya dipahami secara tekstual (berdasarkan teks saja). Hadis tersebut menjelaskan bahwa suatu kaum akan hancur apabila dipimpin oleh wanita. Namun, ada ulama yang membolehkan wanita menjadi pemimpin di luar rumah tangganya, mereka memahami hadis tersebut secara kontekstual. Berikut bunyi redaksi hadis tentang kepemimpinan wanita:
عنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الجَمَلِ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ، قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Bakrah berkata: Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah salallahu alaihi wasallam pada perang Jamal yakni tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang kuda guna berperang bersama mereka. Abu Bakrah meneruskan: saat Raja Kaisar di Persia mati, Rasul bersabda: Siapa yang menjadi penggantinya? Mereka menjawab: putrinya. Lalu Nabi pun bersabda: tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan,” (HR Bukhori).
Secara umum hadis di atas jika ditinjau dari aspek kualitas hadisnya shahîh li dzâtihi. Namun, hadis di atas perlu diimbangi dengan pemahaman kontekstual hadis dan asbab al-wurud, karena tidak semua kepemimpinan wanita akan hancur sebagaimana yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Penjelasan Hadis
Hadis di atas disabdakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ketika ia mendengar penjelasan dari sahabatnya tentang pengangkatan perempuan menjadi Ratu di Persia. Pada waktu itu kaum perempuan dianggap rendah dan dalam masyarakat tidak setara dengan laki-laki. Perempuan tidak dipercaya ikut serta mengurusi kepentingan masyarakat umum, terutama dalam masalah kenegaraan.
Melihat segi historisnya, ternyata hadis ini merupakan respon atas dilantiknya seorang putri Raja Kisra di Persia, yang dianggap oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak memiliki kemampuan untuk memimpin pemerintahan.
Hadis dari Abi Bakrah di atas jika dibandingkan maknanya dari segi kejelasan (sarih) pesannya dengan Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 71, maka hadis tersebut hanya berupa pernyataan yang tidak tegas melarang. Sedangkan ayatnya jelas (sarih) yang menyatakan bahwa orang mukmin laki-laki saling memimpin dengan hakikat amar ma’ruf nahi munkar.
Isyarat tentang ketidak bolehan perempuan menjadi pemimpin menurut hadis dari Abi Bakrah menjadi lemah ketika dihadapkan dengan ketegasan tentang kebolehannya menurut Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 71. Adapun bunyi redaksi ayatnya sebagai berikut:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) ma’ruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Kontekstual hadis ini memberikan gambaran bahwa kondisi pada saat itu kualitas wanita pada umumnya kurang berpendidikan disebabkan oleh budaya atau kondisi sosial kemasyarakatan yang masih menganggap wanita sebagai penanggung jawab di rumah tangga yang tidak diperkenankan keluar rumah untuk menuntut ilmu. Hal ini dikarenakan ketika wanita waktunya banyak di luar rumah maka itu dianggap suatu aib.
Berdasarkan metode pendekatan sosial kemasyarakatan pada era modern ini ternyata telah berubah, karena telah didapatkan wanita yang kadang telah memiliki tingkat intelektualitas yang lebih dari laki-laki. Maka penulis menyimpulkan bahwa hadis tersebut dengan pemahaman kontekstual dengan menggunakan metode sosiologis sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang.
Pada zaman sekarang ini banyak wanita diberi peluang kerja yang tidak pernah dikenal pada zaman dahulu. Sekarang didirikan sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan yang menampung pelajar putri, yang kemudian bisa menghasilkan para guru, dokter, pengawas, akuntan dan sebagainya.
Bahkan sebagian di antara mereka ada yang menjadi direktur berbagai perusahaan, berapa banyak pegawai laki-laki di koperasi atau di organisasi yang ketuanya wanita atau dimiliki seorang wanita. Bahkan terkadang sang suami menjadi anak buah istrinya di tempat kerja, namun sang isteri menjadi anak buah ketika sudah kembali ke rumahnya.
Kesimpulan
Islam tidak melarang wanita menduduki suatu jabatan atau menjadi pemimpin dalam urusan umum bahkan menjadi kepala negara, dengan syarat sanggup melaksanakan tugas tersebut.
Wallohu A’lam
Oleh Ummi Fadhilah