Akhlak

Maqom Mahabbah atau Level Cinta dalam Tasawuf

TSIRWAH INDONESIA – Berbicara masalah tasawuf memang sangat menarik. Terutama membicarakan tingkatan-tingkatan spiritual di dalam tasawuf. Salah satunya berbicara maqam mahabbah. 

Mengutip dari buku Shalawat Nariyah, karya Dr. H. Alvian Iqbal Zahasfan, S.S.I., LC., M.A. beliau menjelaskan definisi mahabbah menurut Dzun Nun Al-Mishri.

Hakikat mahabbah menurut Dzun Nun Al-Mishri adalah mencintai apa yang Allah cintai dan membenci apa yang Allah subhanahu wa ta’ala benci dan tidak takut akan cacian orang, karena Allah SWT. 

Misalnya Nabi Ibrahim alaihis salam yang bergelar khalilullah atau kekasih Allah SWT. Ia mendapat gelar itu karena dalam hatinya tidak ada yang ia cintai melebihi cintanya kepada Allah SWT.

Syekh Ibrahim At-Tazi merupakan seorang waliyullah. Beliau adalah guru dari Syekh Muhammad bin Yusuf bin Umar bin Syu’aib as-Sanusi.

Imam Sanusi merupakan ulama yang mengarang kitab tauhid yakni Ummul-Barahin. As-Sanusi adalah nisbat terhadap suatu kabilah tepatnya daerah Maroko.

Melansir dari annajahsidogiri.id, Imam Sanusi dalam menjalani kehidupan sufi dengan bimbingan gurunya Syekh Ibrahim At-Tazi.

Pada buku Shalawat Nariyah, karya DR. H. Alvian Iqbal Zahasfan, S.S.I., LC., M.A. Syekh Ibrahim At-Tazi lahir di kota Taza, sebuah kota di AlMaghrib Al-Aqso. 

Daerah arah timur utara kota Fes jarak 119 km, jika ditempuh dengan mobil 1 jam 32 menit. Di kalangan ulama beliau dikenal dengan maqom mahabbah atau cinta. Masih berdasarkan penjelasan dalam buku Shalawat Nariyah, bahwa Syekh Ibrahim At-Tazi mencintai orang lain seperti ia mencintai diri sendiri.

Syekh Ibrahim At-Tazi sangat mencintai keturunan Rasulullah Saw. Beliau telah mencapai derajat kewalian yang tinggi, sifat penyantun nya sangat luar biasa.

Syekh Ibrahim At-Tazi juga ketika ia disakiti dan difitnah oleh orang ia bersabar dan memaafkan, bahkan menyayanginya. Perbuatan Syekh Ibrahim At-Tazi di atas menurut ulama ahli hakikat merupakan keluasan makrifat nya kepada Allah dan sempurnanya iman.

Karena jika seseorang mampu menyayangi orang yang telah menyakitinya, memfitnah dan menzaliminya, maka orang tersebut termasuk golongan as-siddiqin ar-ruhama’ (orang-orang yang membuktikan imannya dan penyayang).

BACA JUGA : Menggali Makna Tasawuf dalam Islam: Jalan Menuju Kedekatan dengan Allah

Rabiah Al-Adawiyah merupakan sufi perempuan yang sangat terkenal dan populer di kalangan masyarakat muslim dunia. Dia terkenal sebagai sufi perempuan peletak dasar mazhab cinta atau mahabbah.

Banyak riwayat menjelaskan bahwa sufi perempuan ini, saking cintanya kepada Allah SWT, dia tidak menikah seumur hidupnya sampai akhir hayatnya.

Melansir dari nu.or.id, Rabiatul Adawiyah merupakan sufi perempuan yang kerap menangis dan bersedih karena ingat akan kekurangan-kekurangannya di hadapan Allah SWT. 

Selanjutnya, Rabiatul Adawiyah termasuk dalam khawashul khawash dalam tingkatan Imam Al-Ghazali atau super istimewa, tingkat tertinggi setelah tingkat orang awam dan tingkat orang istimewa atau khawash.

Akhirnya, kesimpulan dari uraian di atas bahwa untuk mencapai level mahabbah atau cinta dalam tasawuf, seorang sufi harus membersihkan hatinya dan kuat cintanya kepada Allah SWT.

Jika jiwa dan jasadnya seorang sufi difitnah, disakiti, dan merasa manusia tidak adil pada dirinya. Dia tidak membalasnya dan selalu berprasangka baik, karena segala perbuatan baik dan buruk di dunia ini tidak lepas dari kehendak Allah SWT. 

Wallohu ‘A’lam
Ustadz Halendra, S.IP

Editor: Divya Aulya

Penulis bau amis yang menulis sejumlah karya fiksi dan non-fiksi. Memiliki ketertarikan dalam dunia kebahasaan, memiliki visi dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator