Fiqih & Akidah

Sandal Jumatan: Miliknya Hilang, Mengambil Milik Orang Lain

TSIRWAH INDONESIA – Sandal kerap kali menjadi bahan pembahasan terutama bagi kaum Adam yang melaksanakan sholat jumat di masjid, yang notabene dilangsungkan berjamaah dengan banyak orang baik dikenal atau tidak.

Muncul pertanyaan di grup Whatsapp Tsirwah Indonesia, apakah jika sandal kita hilang diambil orang, kemudian saat jamaah bubar ada sandal tertinggal tanpa tuan, diperkenankan bagi kita untuk mengambil sandal tersebut sebagai ganti sandal kita.

Maka kritisan soal tersebut adalah sebagai berikut ini:

  1. Sandal diambil orang
  2. Ada sandal orang lain tertinggal di tempat tersebut
  3. Bolehkah mengambil sandal yang bukan milik kita tersebut

Pertama, terkait sandalnya yang diambil orang, khusnudzon mungkin orang tersebut tergesa-gesa hingga sandalnya tertukar atau salah dalam mengambil sandal (ga sengaja).

Ini penting untuk kita bedakan pembahasan, yakni pembahasan terkait sandal kita yang hilang setelah sholat jumat di masjid tersebut, bahwa ini perkara orang lain (baik pahala ataupun dosanya), Allah mengajarkan sebagaimana dalam Alquran surat Hujurat ayat 12:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱجۡتَنِبُوا۟ كَثِیرࣰا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.”

Kemudian pembahasan selanjutnya, adalah terkait dari penanya yang budiman, ketika melihat ada sandal tertinggal di masjid, setelah lamanya mencari-cari sandal sendiri dan belum menemukan.

Sandal di masjid yang tertinggal tersebut, statusnya adalah tetap milik orang lain, tidak ada alasan yang menjadikan sandal tersebut halal untuk kemudian kita miliki dan gunakan.

Terlepas dari apakah itu sandal orang yang diperkirakan mengambil sandal kita atau bukan, tetap tidak ada kejelasan yang menjadikan status sandal itu halal untuk kita miliki dan manfaatkan, apalagi hanya berdalih ‘sebagai ganti sandal saya yang telah hilang’.

Jika dari sudut pandang islam, Nabi mengajarkan kepada kita untuk menjauhi perkara syubhat, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ad-Darimi berikut:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيْبُكَ (رواه أحمد والدارمي)

Artinya: “Tinggalkan sesuatu yang meragukan kamu menuju apa yang tidak meragukanmu”. (HR. Ahmad, No: 17230, Darimi, No: 2438).”

Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim juga terdapat nasihat Nabi yang sesuai dengan kejadian menghadapi syubhat seperti ini, berikut:

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (رواه مسلم)

Artinya: “Bahwa kebaikan itu adalah budi pekerti yang luhur, sedang dosa adalah segala sesuatu yang membuat hati tidak tenang dan merasa khawatir bila diketahui orang lain.”

Kesimpulan, sandal yang kita temui setelah jamaah bubar, dalam kondisi sandal kita besar kemungkinan diambil orang lain, tetap tidak diperkenankan bagi kita untuk mengambilnya, sebab anjuran islam mengutamakan menjauhi perkara syubhat.

Teori seperti ini juga berlaku bagi semua hal, setiap apa yang diambil oleh orang lain dari kita (dicuri, dighosob atau lainnya), tidak ada alasan bagi kita untuk kemudian halal membalasnya, tidaklah seorang mukmin masih dalam keimanannya ketika ia masih menaruh dendam atau rasa ingin membalas pada orang lain.

Wallohu Alam
Oleh Ustadz Hafidz Ramdhani

Editor: Havidz Ramdhani

Aktivis Dakwah, Penulis, Guru Agama, Hafidzul Quran, Web Developer, Graphic Designer, memiliki ketertarikan untuk mengembangkan dan memajukan dunia pendidikan pesantren sesuai relevansi zaman dan teknologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator