Simak Bagaimana Fiqih Islam Mengatur Hutang Piutang
TSIRWAH INDONESIA – Islam melalui fiqihnya, merupakan ajaran yang mengatur dan menjelaskan segala ketetapan pada seluruh aspek kehidupan manusia, salah satunya hutang piutang.
Fiqh menjelaskan tentang ketetapan hutang piutang dalam syariat agama Islam. Hal tersebut telah diterangkan secara jelas dan terperinci.
Permasalahan hutang piutang harus sesuai dengan landasan nilai yang terdapat pada rukun Islam, rukun Iman, dan lain sebagainya.
Hutang dalam ilmu fiqih diartikan sebagai harta yang diserahkan kepada pihak lain, dengan sebuah akad akan dikembalikan di lain waktu ataupun pada hari yang disepakati bersama.
Hukum Berhutang dalam Syari’at Islam
Jika menarik garis dari kewajiban untuk saling tolong menolong sesama umat Islam, maka hutang piutang termasuk transaksi yang diperbolehkan dalam pandangan syariat Islam.
Namun, yang harus digaris bawahi ialah faktor atau alasan yang melatar belakangi seseorang sehingga mengharuskannya untuk berhutang kepada orang lain.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjelaskan sebagai berikut:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya: “Barangsiapa yang melapangkan orang mukmin dari satu kesusahan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan dari satu kesusahan di hari kiamat. Barang siapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan baginya (kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu mau menolong saudaranya,” (HR Muslim).
Lebih spesifik, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
Artinya: “Tidak seorangpun muslim yang mengutangkan kepada sesama muslim sebanyak dua kali, kecuali ia (dicatat) seperti bersedekah satu kali,” (HR Ibnu Majah).
Berdasarkan hadist di atas, dasar hukum memberikan hutang kepada orang lain adalah sunnah. Hukum sunnah itu bisa berubah tergantung pada kondisi dan situasinya.
Sebagai contoh, hukumnya berubah menjadi wajib jikalau orang yang hendak berhutang dalam kondisi darurat, seperti terancam keselamatan jiwanya atau sejenisnya.
Sebaliknya, hukum memberi hutang menjadi haram manakala telah diketahui bahwa uang tersebut digunakan untuk kemaksiatan dan perbuatan munkar.
Kedua belah pihak juga harus memperhatikan akad perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Salah satunya, batas untuk mengembalikan hutang tersebut.
Selain dari sudut pandang pemberi hutang, fiqih Islam juga telah memberikan aturan terkait syarat dan batasan dalam hal berhutang kepada orang lain.
Seseorang boleh berhutang kepada orang lain jika terdapat situasi dan kondisi yang membuatnya terpaksa berhutang.
Berdasarkan akurat.co, seseorang boleh berhutang jika tujuan hutang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pendidikan maupun perawatan medis.
Begitupun dengan situasi dan kondisi yang mendesak serta memaksa seseorang untuk berhutang.
Umat Islam wajib mengetahui bahwa ajaran Islam melarang adanya riba. Tidak boleh mengenakan bunga untuk hutang.
BACA JUGA : Berikut Janji Allah kepada Orang yang Gemar Bersedekah
Kewajiban Mengembalikan Hutang bagi Umat Islam
Umat Islam juga berkewajiban untuk mengembalikan hutang yang dimiliki sesuai waktu yang disepakati dan tidak menunda pembayarannya.
Menunda pembayaran hutang tanpa alasan yang jelas merupakan tindakan buruk dalam agama Islam.
Tidak membayar atau mengembalikan sesuatu (hutang) dapat dianggap sebagai tindakan mengambil hak milik orang lain.
Artinya, tidak membayarkan hutang termasuk ke dalam perbuatan zalim dan keji terhadap orang-orang yang berhak atas hal tersebut.
Konsekuensinya, orang yang tidak membayarkan hutang semasa hidupnya akan berdosa.
Imam Muhammad bin Abu Bakar menyampaikan sebuat kisah, saat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallamsedang duduk di pinggiran kota Madinah, lewatlah sekelompok orang di depan beliau sembari membawa jenazah.
Mereka memohon kepada Nabi agar menjadi imam dan ikut menyolatkan jenazah tersebut bersama-sama.
Hal pertama yang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tanyakan kepada mereka ialah, “apakah ia memiliki hutang?”, merekapun menjawab “ya, dia memiliki hutang sejumlah empat dirham”.
Mendengar kesaksian orang-orang tersebut, Nabi lantas enggan menjadi imam salat untuk jenazah tersebut.
Konsekuensi bagi Orang yang Tidak Membayar Hutang
Mengutip salah satu hadist Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yang berbunyi:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
Artinya: “Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) sebagai pencuri,” (HR Ibnu Majah).
Maka dari itu, sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab, seseorang yang telah berhutang haruslah berniat melunasi hutangnya tersebut.
Walaupun perbuatan hutang piutang diperbolehkan dalam pandangan Islam. Hutang piutang sendiri memiliki banyak celah bagi syaiton untuk menjerumuskan umat Islam kepada hal-hal negatif.
Maka, alangkah baiknya apabila senantiasa berusaha untuk tidak berhutang kepada orang lain dan menjauhkan diri dari perbuatan tersebut.
Wallohu A’lam
Oleh Muhammad Al Fatih