Hikmah & Wawasan

Benarkah Wanita Dilarang Bepergian Tanpa Mahram, Simak Penjelasannya Menurut Abdul Mustaqim

TSIRWAH INDONESIA – Banyak orang melarang perempuan bepergian jauh, menetap di luar daerah ataupun negara tanpa mahram, dengan adanya pembatasan gerak kepada perempuan dapat menjadi hambatan sosial untuk mengembangkan diri khususnya dalam hal menuntut ilmu.

Adapun hadis yang dijadikan pegangan oleh kebanyakan orang tentang larangan perempuan dalam bepergian tanpa disertai mahram, sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَم

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu’man, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amru dari Abu Ma’bad, sahayanya Ibnu ‘Abbas, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma berkata, Nabi salallahu alaihi wasallam bersabda, “Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya,” (HR. Bukhori).

Penjelasan Hadis

Terkait hadis di atas, jumhur ulama memahaminya sebagai suatu larangan untuk perempuan dalam berpergian yang sifatnya sunnah atau mubah, tanpa disertai mahram. Sedangkan untuk berpergian yang sifatnya wajib, seperti menunaikan ibadah haji, para ulama berbeda pendapat.

Menurut Imam Abu Hanifah dan didukung oleh mayoritas ulama hadis wajib hukumnya perempuan yang ingin melaksanakan ibadah haji disertai mahram. Namun menurut Imam Malik, Al-Auza’i dan Asy-Syafi’i tidak wajib, mereka hanya mensyaratkan keamanan saja.

Keamanan itu bisa diperoleh dengan mahram yang terpercaya (tsiqat). Dengan demikian, jika pemikiran tersebut dikembangkan, maka konsep mahram yang sebelumnya bersifat perorangan dapat digantikan dengan sistem keamanan yang menjamin keselamatan dan kemanan perempuan. Artinya, tidak masalah jika perempuan bepergian tanpa disertai mahram selama ada jaminan keamanan dan keselamatan.

Guru Besar UIN SUKA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga) Terkait Hadis Larangan Perempuan Pergi Tanpa Disertai Mahram

Menurut Abdul Mustaqim, hadis tersebut tidak mempunyai asbabul wurud khusus. Sementara, jika dilihat dari sejarah dan keadaan sosial masyarakat saat itu, sangat mungkin larangan tersebut dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Nabi shalallahu alaihi wasallam akan keselamatan perempuan, jika dia berpergian jauh tanpa disertai mahram.

Mengingat pada masa itu, ketika seseorang berpergian kendaraan yang digunakan yaitu unta, bighal (sejenis kuda), maupun keledai dalam perjalanannya. Mereka seringkali harus melewati padang pasir yang luas, daerah-daerah yang jauh dari kehidupan manusia. 

Pada waktu itu juga, wanita dianggap pemali atau kurang etis jika pergi jauh sendirian. Kondisi demikian, tentunya bagi seorang wanita yang berpergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau menimbulkan fitnah yang dapat membuat nama baiknya tercemar.

Berbeda halnya dengan kondisi masyarakat sekarang yang sudah berubah, aksesibilitas yang mudah sehingga jarak yang jauh sudah tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan adanya sistem keamanan yang menjamin keselamatan wanita dalam bepergian maka sah-sah saja wanita pergi sendirian untuk menuntut ilmu, menunaikan haji, bekerja dan lain sebagainya. 

Apalagi di zaman sekarang transportasi dan telekomunikasi sudah sangat canggih, yang memungkinkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan perempuan di saat harus pergi sendirian tanpa mahram atau suami. Abdul Mustaqim mengatakan bahwa perlunya penafsiran baru mengenai konsep mahram.

Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai perorangan akan tetapi dimaknai sebagai sistem keamanan yang menjamin keselamatan bagi kaum wanita. Pemahaman semacam ini tampaknya akan lebih kontekstual (pemaknaan yang tidak berhenti pada makna teks saja) dan dapat disesuaikan terhadap perubahan serta perkembangan zaman. 

Sehingga kita tidak terjebak dan terbatas oleh bunyi teks hadis yang kadang cenderung bersifat kebudayaan, terpaku pada waktu, dan lokal. Kontekstualisasi pemahaman hadis tersebut di atas, didukung oleh data yang valid dari kandungan hadis yang marfu’ (sampai kapada Rasulullah) yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Ady bin Hatim, sebagai berikut:

يُوْشِكُ أَنْ تَخْرُجَ الظَعِيْنَةُ مِنَ الحِيْرَةِ تُقَدِمُ البَيْتُ (الكعبة) لاَزَوْجَ لَهَا

Artinya: “Akan datang masanya, seorang perempuan penunggang onta pergi dari kota (Hijrah) menuju Ka’bah tanpa seorang suami bersamanya,” (HR. Al-Bukhari).

Sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Qaradhawi dari Ibnu Hazm pada kitabnya Al-Muhalla menjelaskan bahwasanya hadis tersebut memberikan prediksi tentang datangnya masa kejayaan Islam dan keamanan di seantero dunia dan sekaligus juga menunjukkan dibolehkannya wanita berpergian tanpa suami atau mahram.

Wallohu A’lam
Oleh Ummi Fadhilah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator