Biografi Kiai Haji Agus Salim: Pahlawan Nasional yang Dijuluki The Grand Old Man
TSIRWAH INDONESIA – Belajar dari sejarah, kita mengetahui pasti bahwa rakyat Indonesia pernah hidup sekian ratusan tahun dalam bayang kolonialisme. Bangsa asing yang mengeksplorasi kekayaan bumi Nusantara hingga mengerahkan tenaga pribumi untuk kepentingannya disebut penjajah.
Sebagai sesama umat manusia yang mengharapkan hidup merdeka, sudah selayaknya Indonesia juga ingin bebas di tanahnya sendiri. Oleh karena itu, banyak pemberontakan sebagai upaya memperjuangkan kemerdekaan.
Pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan tak hanya yang turun ke medan perang. Perjuangan meraih kemerdekaan juga dapat dilakukan melalui pemikiran. Jalan itulah salah satu langkah yang kerap dipilih para ulama.
Seorang pahlawan nasional yang dikenal sebagai ulama dan kecerdasannya dalam ilmu duniawi ialah Kiai Haji Agus Salim. Bagaimana kisah hidup beliau? Simak selengkapnya dalam biografi singkat berikut.
Biografi Kiai Haji Agus Salim
Lahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti Pembela Kebenaran di Agam, Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober 1884. Kiai Haji (KH.) Agus Salim ialah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961, KH. Agus Salim ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961.
Selama hidupnya, beliau dikenal sebagai orator dan penulis yang andal. Relevan dengan pekerjaannya, KH. Agus Salim menguasai empat bahasa asing di Eropa yaitu, bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan bahasa Prancis. Tidak hanya itu, beliau juga menguasai dua bahasa asing lainnya, yaitu bahasa Arab, bahasa Turki serta bahasa Jepang.
Selepas lulus dari HBS (Hogere Burger School), yaitu sekolah menengah atas lima tahun pada tahun 1903 di usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Agus Salim berharap bisa memperoleh beasiswa untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Sayangnya, pemerintah Belanda menolak permohonannya. Beliau pun sempat patah arang.
Dilansir dari situs bctemas.beacukai.go.id, terdapat cuplikan dari surat Raden Ajeng Kartini ke Nyonya Abendanon. Kabarnya Nyonya Abendanon selaku istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah memberikan beasiswa kepada RA. Kartini mendapatkan pesan untuk mengalihkan kesempatan belajar ke Belanda tersebut kepada Agus Salim.
Dalam cuplikan suratnya, RA. Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikannya meraih beasiswa ke Belanda, “Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda. Kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan.”
RA. Kartini merekomendasikan Agus Salim karena tertarik dengan kabar kecerdasan serta prestasinya. Rekomendasi berangkat ke Belanda itu diberikan RA. Kartini kepada Agus Salim dikarenakan pernikahannya, dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri bersekolah tinggi. Pemerintah Belanda menyetujui usulan tersebut, namun Agus Salim menolaknya. Ia beranggapan bahwa pemerintah Belanda diskriminatif.
Tidak bisa berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan, belakangan pada tahun 1906, Agus Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi. Keberangkatan Agus Salim ke sana untuk bekerja sebagai penerjemah di Konsulat Belanda. Selama di sana ia juga memperdalam ilmu agama Islam dengan berguru pada Syech Ahmad Khatib, seorang imam Masjidil Haram yang merupakan pamannya. Selain belajar agama islam, ia juga mempelajari diplomasi.
Sepulang dari Jeddah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School). Tahun 1915, Agus Salim terjun ke dunia jurnalistik di Harian Neratja sebagai Wakil Redaktur. Karirnya di dunia jurnalistik terus berkembang dan kian melejit. Setelah dipercaya sebagai Wakil Redaktur, kemudian ia diangkat menjadi Ketua Redaksi.
Kegiatan dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga beliau menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Beliau juga mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Karir Agus Salim selanjutnya diamanahi sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Perjuangannya dalam meraih kemerdekaan Indonesia lantas dimulai saat beliau terjun ke dunia politik. Beliau bergabung bersama HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis dalam Sarekat Islam (SI). Puncaknya beliau diamanahi sebagai ketua SI, menggantikan HOS Tjokroaminoto yang telah wafat. Semasa perjuangan kemerdekaan beliau juga kerap ditunjuk sebagai penasihat Soekarno, Moh. Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara, yang bertanggung jawab atas Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA).
Tidak hanya itu, beliau juga dipercaya sebagai anggota Panitia Sembilan yang bertugas menyusun Dasar Negara. Masa awal kemerdekaan, beliau pun ditunjuk sebagai Dewan Pertimbangan Agung. Saat kepemimpinan presiden pada Kabinet Syahrir I, Kabinet Syahrir II, dan Kabinet Hatta beliau juga dipercayai untuk mengemban tugas sebagai Menteri Luar Negeri.
Meski badannya kecil, dengan kiprah dan kepiawaiannya sebagai orator yang andal beliau dijuluki sebagai The Grand Old Man, yang berarti Orang Tua Besar. Memiliki kecerdasan dan dikenal dengan segudang prestasi itu, tidak lantas membuat KH. Agus Salim menjadi orang yang angkuh. Selama hidupnya dikenal sebagai pribadi yang sederhana, bahkan beliau kerap berpindah-pindah tempat tinggal dan kebanyakan dari kos satu ke kos lainnya.
Wallohu A’lam
Oleh Insani Miftahul Jannah