Cara Mewujudkan Mimpi, Belajar dari Sejarah Perang Mu’tah
TSIRWAH INDONESIA – Cara yang paling efektif untuk mewujudkan mimpi adalah dengan mengerahkan 100 persen kemampuan diri. Motivasi untuk menjadi 100 persen diri yaitu dapat diperoleh dengan belajar dari generasi terbaik.
Generasi terbaik adalah generasi yang ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Salah satu pembelajaran yang dapat dijadikan motivasi yaitu ada pada sirah (sejarah) perang mu’tah.
Perang Mu’tah dan Kondisi Kaum muslimin sebelum Perang
Berdasarkan kalam.sindonews.com, perang mu’tah yaitu perang yang terjadi antara kaum muslimin dan kaum Romawi pada Jumadil Awal 8 hijriyah atau 629 masehi. Perbandingan pasukan perang adalah sebanyak tiga ribu pasukan muslim melawan 200.000 pasukan Romawi.
Jarak tempuh kaum muslimin dalam perang tersebut sejauh 1.000 km, yaitu dari Yordania ke Madinah. Kondisi kaum muslimin pada masa itu masih tertinggal dalam hal riset, jika dibandingkan dengan kaum Romawi.
Kiat untuk Mewujudkan Mimpi
1. Mau Menghilangkan Rasa Takut
Rasulullah SAW menunjuk tiga orang sahabat untuk menjadi pemimpin perang mu’tah bagi kaum muslim, di antaranya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.
Orang-orang yahudi menanamkan pemikiran negatif terhadap kaum muslimin, yaitu dengan mengatakan bahwa jika Rasulullah SAW menunjuk tiga orang pemimpin dari kaum muslimin secara bergantian, maka semua yang ditunjuk itu pasti akan mati.
Tiga sahabat tersebut menangis, akan tetapi mereka menangis bukan karena rasa takut akan mati terkalahkan, melainkan takut masuk neraka, walaupun orang yang mati syahid itu balasannya adalah surga.
Mengalahkan rasa takut dengan berserah diri kepada Allah subhanallahu wata’ala dan mengerahkan usaha lebih untuk menekan rasa takut adalah pembelajaran pertama yang dapat diambil dari perang mu’tah.
Baca Juga: Ashabul Kahfi: 7 Pemuda yang Tertidur Bertahun-tahun dalam Gua
2. Tegar Menghadapi Rintangan
Kaum muslimin baru mengetahui bahwa yang mereka hadapi adalah kaum Romawi dengan pasukan perang hampir seratus kali lebih banyak, persenjataan yang lebih canggih, jika dibandingkan dengan persenjataan kaum muslimin pada saat itu.
Melihat hal tersebut, satu di antara pasukan kaum muslimin mengusulkan untuk mengirimkan surat kepada Rasulullah SAW agar mengirimkan bala bantuan.
Mengutip dari detik.com/hikmah, bahwa di tengah kekhawatiran pasukan muslimin, Abdullah bin Rawahah meyakinkan dirinya sebagai berikut:
Abdullah bin Rawahah berkata, “Wahai sahabat-sahabatku, Demi Allah! Sesungguhnya, apa yang kalian tidak suka, itulah yang kita cari, yaitu kesyahidan. Kita memerangi musuh bukan karena jumlah dan kekuatan mereka.”
Beliau kemudian melanjutkan, “Tapi karena agama ini yang dengannya Allah telah memuliakan kita. Marilah, sesungguhnya apa pun akhirnya pasti kebaikan buat kita, kemenangan atau kesyahidan.”
Perkataan dari Abdullah bin Rawahah tersebut menunjukkan mental beliau yang tangguh dan berkualitas. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam surat Ali ‘Imran ayat 157:
وَلَئِنْ قُتِلْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ مُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: “Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.”
Menemukan rintangan hendaknya dihadapi dengan niat yang lurus dan bertujuannya menggapai ridho Allah, maka apapun rintangannya pasti ada jalan keluarnya.
3. Mengerahkan Seluruh Kemampuan yang Dimiliki
Akhirnya perang tetap dilanjutkan sampai tiga dari sahabat Rasulullah SAW yang ditunjuk untuk menjadi panglima perang tersebut syahid (mati di jalan Allah).
Zahid bin Haritsah gugur terkena tombak musuh, Ja’far bin Abi Thalib dikisahkan syahid dengan tubuh yang terpotong-potong, terkena tebasan pedang musuh saat hendak mempertahankan bendera panji Rasulullah SAW agar tetap berkibar.
Bendera perang Rasulullah SAW kemudian diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah setelah mengetahui Ja’far bin Abi Thalib syahid. Mengetahui dua sahabatnya yang gugur, sempat terlintas rasa takut dalam dirinya.
Abdullah bin Rawahah kemudian memarahi dirinya sendiri untuk tidak takut, dan tidak lari dari perang, bahkan beliau membunuh kudanya sendiri, lalu tetap maju untuk berperang, sampai pada akhirnya beliau pun juga syahid.
Mengutip dalam www.uii.ac dari perkataan Ustadz Sulaiman Rasyid, S.T. dalam kajian mengenai kisah perang Ghazwah mu’tah, beliau berkata, “aku bersumpah wahai jiwaku, turun sekarang ke medan tempur. Aku turun atau aku yang memaksamu turun?”
Beliau kemudian melanjutkan, “wahai jiwaku kalaupun tidak mati sekarang, maka engkau juga akan mati dalam keadaan lain.’ Jadi dia ngomong sama jiwanya sendiri. Kenapa engkau menunda-nunda, maka majulah! Akhirnya ia meninggal dan mati syahid.”
Sahabat Rasulullah SAW telah mengerahkan 100 persen usaha mereka. Mental yang dimiliki oleh sahabat Rasulullah SAW dapat dijadikan teladan. Beliau telah mengerahkan sepenuh kemampuannya untuk menggapai mimpi yaitu ridho Allah SWT.
4. Melakukan Evaluasi atas Usaha dan Berinovasi
Berkurangnya jumlah pasukan dan gugurnya tiga sahabat Rasulullah SAW sebagai panglima perang, akhirnya membuat kaum muslim menepi sejenak untuk ber-ijtihad (bermusyawarah). Mereka kemudian menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima perang selanjutnya.
Khalid bin Walid menyusun strategi perang dengan melakukan tipu muslihat. Khalid memberi perintah agar barisan pasukan belakang berpindah ke depan, kemudian pasukan pada sayap kiri berpindah ke sayap kanan, dan sebaliknya. Pasukan musuh mengira kaum muslimin mendapat tambahan bala tentara baru.
Strategi perang dari Khalid mengakibatkan semangat pasukan musuh menurun dan melemah, bahkan pedang dari Khalid mampu mematahkan sembilan pedang musuh sekaligus. Pasukan musuh akhirnya mundur dengan kekalahan, dan pasukan muslimin berhasil membawa kemenangan.
Dalam mewujudkan mimpi diperlukan evaluasi (perbaikan) atas usaha yang telah dilakukan, dibutuhkan juga inovasi agar usaha yang telah dilakukan berhasil dan berdampak baik bagi masyarakat luas.
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mau mengusahakan untuk mengubah keadaan diri mereka sendiri, yang selaras dengan firman-Nya yaitu Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 11 yang berbunyi:
لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٌ مِّنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ يَحْفَظُونَهُۥ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Kesimpulan
Belajar dari sejarah perang mu’tah mewujudkan mimpi dapat dilakukan dengan cara menghilangkan rasa takut, tegar dalam menghadapi rintangan, mengerahkan semua kemampuan diri, dan melakukan evaluasi serta inovasi dalam sebuah usaha. Melibatkan Allah di dalamnya sebagai pelengkap dari ikhtiar (usaha) yang telah dilakukan.
Wallohu A’lam
Oleh Lofty Andjayani