Potong Rambut pada 10 Hari Dzulhijjah, Benarkah Membatalkan Pahala Kurban, Menarik
TSIRWAH INDONESIA – Sebentar lagi umat islam dunia akan merayakan hari raya Idul Adha 1444 Hijriah, satu di antara beberapa amalan yang dianjurkan adalah ibadah kurban. Berdasarkan sejarahnya ibadah kurban berawal dari peristiwa yang terjadi antara dua anak Nabi Adam alaihi salam yaitu Habil dan Qabil yang memperebutkan Iqlimi (saudara kembaran Qabil) untuk dinikahinya.
Peristiwa ini diabadikan dalam firman Allah quran surah Al-Maidah ayat 27:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.”
Dalam tulisan yang diunggah pada Panduan Kajian Hadis Indonesia, diceritakan peristiwa kurban kembali terjadi pada zaman Nabi Ibrahim alaihi salam, yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail alaihi salam. Barulah pada tahun 2 hijriah ibadah kurban disyariatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, perihal ini dikisahkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي (رواه أحمد)
Artinya: “Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Aku ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Idul Adha di Mushalla (lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibasy, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata,” Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah kurbanku dan kurban siapa saja dari umatku yang belum berkurban,” (HR Ahmad).
Sejak pensyariatan kurban sampai ke umat Rasulullah, barulah umat manusia berbondong-bondong menyelenggarakan ibadah spesial ini, sebab kurban hanya dilaksanakan satu kali dalam setahun, namun terkadang umat islam banyak yang lengah dengan aturan dalam beribadah, sehingga ibadah yang mereka lakukan menjadi kurang sempurna bahkan sia-sia.
Satu di antara kasus yang terjadi pada umat islam perihal kurban, yaitu tidak adanya pemahaman mengenai hukum potong rambut bagi shahibul qurban (orang yang berkurban), berikut penjelasannya.
Kajian Islam Seputar Kurban
Kurban adalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan (sunnah muakad), pengaplikasian ibadahnya dengan cara menyembelih hewan ternak, tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya Idul Adha sampai selesainya hari Tasyri’.
Adapun bagi mereka yang ikut berkurban pada tahun tersebut, maka mereka harus memperhatikan sabda Rasulullah berikut:
إذَا دَخَلَ الْعَشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Artinya: “Jika sudah masuk sepuluh hari pada bulan Dzulhijjah, dan salah satu diantara kalian ada yang ingin berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) dari rambutnya dan kulitnya,” (HR Muslim).
Hadis tersebut kemudian dijelaskan oleh Imam Said bin Musayyib seorang ulama bermazhab As-Syafi’i, menghukumi potong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban haram sampai penyembelihan hewan kurban selesai, tetapi sebagian ulama Syafi’iyah lainnya berpendapat hukum memotongnya hanya sekedar makruh.
Pengambilan hukum dari Imam Syafi’i tersebut berlandas pada hadis yang diriwayatkan Aisyah:
كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يقلده ويبعث به ولايحرم عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ
Artinya: “Dahulu, aku (Aisyah) memintal tali untuk kalung hewan qurban Rasulullah saw, lalu kemudian Rasulullah saw mengalungkannya dan mengutusnya (ketempat penyembelihan) dan tidak ada hal yang diharamkan oleh Rasulullah saw apa yang sudah dihalalkan oleh Allah swt hingga beliau (Rasulullah saw) menyembelih hewan qurbannya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Berbeda dengan gagasan yang disampaikan oleh Abu Hanifah dalam buku 13 Hal yang Wajib Diketahui Tentang Ibadah Kurban karangan Muhammad Sayyidin Mahadar, hukumnya tidak makruh, tapi boleh-boleh saja, sedangkan Imam Malik dalam riwayatnya menjelaskan hukumnya tidak makruh, ada juga beberapa waktu menghukumi boleh dan ada juga haram.
Berdasarkan beberapa pendapat ulama tersebut, maka disimpulkan hukum tidak memotong rambut dan kuku, menurut Imam As-Syafi’i sunnah dan meninggalkannya makruh tanzih (makruh yang utama ditinggalkan) bukan haram.
Adapun menurut Imam An-Nawawi hikmah dianjurkan tidak memotong rambut, baik rambut kepala, kumis, ketiak, bulu kemaluan, rambut atau bulu halus pada bagian tubuh dan kuku bagi orang yang berkurban yaitu agar seluruh anggota badan tetap sempurna untuk terbebas dari api neraka, dan ada juga yang berpendapat supaya menyerupai seperti orang yang sedang ihram (berhaji).
Imam Al-Mawardi ulama bermazhab As-Syafi’i dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir menyimpulkan hukum ini menjadi tiga klasifikasi, di antaranya:
1. Sunnah menurut Imam As-Syafii, sehingga bagi orang berkurban yang tidak memotong rambut dan kuku pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah terhukumi sunnah, dan bagi mereka yang tetap memotong maka hukumnya makruh.
2. Wajib berdasarkan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih, bagi siapa yang berkurban hukum memotong rambut dan kuku haram, karena ibadah kurban bagi mereka menyerupai ibadah haji.
3. Mubah, maksudnya tidak sunnah dan bukan makruh, berdasarkan pada pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, dengan alasan keadaan mereka tidak sama dengan kondisi orang yang ihram, halal bagi mereka berhubungan suami istri apalagi hanya sekedar memotong rambut dan kuku.
Wallohu A’lam
Oleh Rahmiwati Abdullah