AkhlakHikmah & Wawasan

Dakwah Jangan Sembarangan: Amar Ma’ruf Nahi Munkar Ada Aturannya

TSIRWAH INDONESIA – Dakwah adalah hal yang sangat baik, dengan ini yang buruk bisa baik, yang baik bisa berkualitas kebaikannya, yang sudah benar-benar baik tidak akan meninggi kemudian terjatuh, dan seterusnya.

Dakwah dalam kata lain bisa juga mengandung makna dari ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar‘, yakni mengajak pada kebaikan dan mencegah atau melarang dari keburukan.

Prinsip dakwah dalam amar ma’ruf nahi munkar ini, tidak lantas menjadi hal yang bisa diandalkan sebagai senjata dalam melawan segala kebatilan, menumpas segala penyelewengan, apalagi tanpa didasari pemahaman yang kaffah.

Termasuk salah satu bagian dari cara melakukannya dengan ilmu, adalah sebagaimana Hadits Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Artinya: “Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, bila tidak mampu hendaklah dengan hatinya (didoakan), dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.

Pertama, dakwah dengan tangan atau kekuasaan, ini berguna bagi orang-orang yang memiliki posisi lebih tinggi dibanding orang yang akan didakwahinya, contohnya seperti:

  • Orang tua pada anaknya
  • Guru pada muridnya
  • Pimpinan pada bawahan atau rakyatnya

Maka, dakwah dengan cara ini, seorang guru silahkan mengeluarkan perintah kebaikan secara langsung pada muridnya atau melarang muridnya dari kemunkaran secara langsung, sebab potensi terganggunya jalan dakwah akan kecil.

Kedua, dakwah dengan lisan, ini berguna bagi orang-orang yang sederajat atau di posisi yang sama dengan orang yang akan didakwahinya, contohnya:

  • Terhadap teman atau sahabat
  • Terhadap rekan kerja
  • Terhadap orang-orang yang di posisi atau derajat sama

Maka, untuk kemudian menegur mereka, mendakwahi mereka, menasehati mereka, tidak bisa dengan serta-merta menggunakan cara seperti yang di nomor pertama, sebab memiliki potensi kontroversial terutama dari aspek kesetaraan.

Maka harus benar-benar teliti kapan saatnya menegur atau menasehati, dan itupun secara perlahan dengan lisan atau kalimat-kalimat motivasi, nasehat dan semacamnya.

Ketiga, dakwah menggunakan hati, ini berguna bagi orang-orang yang memiliki posisi lebih rendah dibandingkan orang yang akan didakwahinya, contohnya:

  • Anak kepada orang tuanya
  • Murid kepada gurunya
  • Adik kepada kakaknya
  • Bawahan kepada pimpinannya

Maka, seperti seorang anak, tidak boleh kemudian secara tiba-tiba memarahi orang tua mengatur-atur orang tua dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar, harus memulainya dengan cara ketiga ini, terutama bila kondisi benar-benar tidak memungkinkan untuk memakai cara kedua atau bahkan pertama, maka masih ada peluang pahala dakwah dengan cara hati, yakni mendoakan yang terbaik.

Ada pengertian atau cara pemahaman yang lain dari hadits di atas, seperti yang dijelaskan Imam Muhyiddin an-Nawawi di dalam kitab Raudlatut Thâlibîn:

ولا يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد، ولا تكفي كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان

Artinya: “Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu menghilangkan kemunkaran dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu mencegah kemunkaran dengan lisan.

Maksud sederhananya, bila dalam kondisi tertentu orang dapat melakukan dengan cara nomor dua, maka tidak boleh berhenti di nomor ketiga, dan jika memungkinkan dengan cara nomor pertama, tidak boleh berhenti di cara kedua.

Pada dasarnya perspektif dakwah yang juga dihiasi amar ma’ruf nahi munkar ini memiliki banyak sudut pandang yang berbeda, bergantung pada kondisi.

Dan yang utama adalah selalu menimbang apa yang akan dilakukan agar tidak lepas dari nilai Rahmatan Lil Aalamiin, yakni prinsip kasih sayang, karena dakwah adalah menghilangkan kemunkaran tanpa menimbulkan kemunkaran yang lain.

Salah satu pelajaran menarik, dapat kita ambil dari Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani di dalam kitabnya, Hasyiyah asy-Syarwani:

والواجب على الآمر والناهي أن يأمر وينهى بالأخف ثم الأخف. فإذا حصل التغيير بالكلام اللين فليس له التكلم بالكلام الخشن وهكذا كما قاله العلماء

Artinya: “Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk bertindak yang paling ringan dulu kemudian yang agak berat. Sehingga, ketika kemungkaran sudah bisa hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan ucapan yang kasar. Dan begitu seterusnya).

Dalam proses amar ma’ruf nahi munkar, harus lebih bijak dan arif saat melangkah, mengawali dengan yang lebih ringan, kemudian yang ringan, jika sudah berhasil maka bertahap ke cara yang lebih lagi, dan begitu seterusnya sebagaimana tuntunan para ulama.

Wallohu Alam
Oleh : Ustadz
Hafidz

Editor: Havidz Ramdhani

Aktivis Dakwah, Penulis, Guru Agama, Hafidzul Quran, Web Developer, Graphic Designer, memiliki ketertarikan untuk mengembangkan dan memajukan dunia pendidikan pesantren sesuai relevansi zaman dan teknologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator