Hukum Memperingati Tahun Baru Islam, Benarkah Bid‘ah
TSIRWAH INDONESIA – Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam tahun hijriah dan termasuk dalam bulan yang dimuliakan Allah, dengan kemuliaan tersebut sehingga ia dijuluki syahrullah (bulan Allah). Pada bulan ini, masyarakat sering kali mengadakan tradisi daerah dalam penyambutannya, mulai dari tradisi sederhana seperti pawai obor keliling kampung, lomba keislaman berbasis manual maupun teknologi, tahlilan, syukuran, selamatan, dan kajian islami.
Alasan yang mendasari perayaan tersebut adalah sebagai bentuk pengagungan syiar-syiar islam, sebagaimana sejarah mencatat tahun hijriah adalah momentum perjuangan Rasulullah dan sahabat memperjuangkan agar islam resmi menjadi sebuah badan hukum yang berdaulat dan diakui keberadaannya secara internasional.
Tahun baru hijriah dihitung sejak hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah. Sejak tahun itu, umat islam mempunyai undang-undang formal, mempunyai pemerintahan yang resmi dan punya jati diri sebagai negara yang berdaulat. Hukum islam tegak, dan mempunyai posisi yang sejajar dengan negara atau kerajaan di dunia internasional. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut menjadi suatu wadah untuk mengingatkan kembali tentang sejarah islam kepada masyarakat umum.
Hal ini juga ditegaskan oleh Ustadz Abdul Somad dalam kajian yang diunggah dalam channel youtube ceramah Ustadz Abdul Somad tentang Hukum Memperingati 1 Muharram, beliau menjelaskan:
“Peringatan tahun baru islam adalah bentuk syiar yang berfungsi sebagai wadah untuk mencerdaskan umat dengan kemajuan zaman, billisani qaumihi (bahasa orang sekarang), jika pada zaman dahulu seperti Nabi Musa yang berdakwah dengan sihir, maka dia dianugerahi mukjizat berupa sihir untuk mengalahkan sihir, sedangkan pada zaman Nabi Muhammad keahlian manusia adalah bersyair, maka Allah kirimkan mukjizat berupa Al-Quran, yang bahasanya mengalahkan syair-syair yang dibuat oleh orang kafir jahiliyah.”
Perintah syiar ini juga dijelaskan dalam Quran surah Al-Hajj ayat 32 yang berbunyi:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
Artinya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati (seorang hamba).”
Adapun sebagian umat islam memiliki pemahaman yang berbeda dalam menanggapi perayaan penyambutan bulan Muharram, mereka menganggap tradisi tersebut termasuk rekayasa masyarakat sekarang yang tidak pernah dicontohkan dalam syariah. Mereka berpandangan bahwa pada zaman sahabat yang merupakan generasi terbaik tidak pernah melakukan perayaan jika masuk tahun baru meskipun pada masa itu kalender hijriah baru diresmikan.
Hal seperti inilah yang menjadi landasan mereka dalam berargumen sehingga tidak jarang mereka menganggap tradisi tersebut termasuk bid’ah yang hukumnya jelas haram. Namun terkait perbedaan ini tentulah bukan hal yang harus diperdebatkan, karena setiap argumen mempunyai dasar masing-masing.
Catatan penting terhadap dua pendapat tersebut adalah, bagi kelompok yang sepakat dengan perayaan hendaknya mengemas kegiatan tersebut dengan hal positif yang tidak merusak, menganiaya diri bahkan kegiatan yang membawa kepada kemaksiatan. Namun jadikan momentum ini sebagai wadah untuk menambah semangat dalam mengenal islam lebih dalam. Sedangkan bagi kelompok yang melarang seharusnya bertoleransi kepada mereka yang merayakan.
Wallohu A’lam
Oleh Rahmiwati Abdullah