Muhasabah: Pengertian, Dalil, Waktu, dan Caranya, Simak Selengkapnya
TSIRWAH INDONESIA – Manusia diciptakan dengan berbagai kelebihan dan keunggulan atas makhluk-makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang lainnya. Meskipun demikian, manusia memiliki keterbatasan yang kadang membuat manusia lupa dan salah.
Oleh karena itu, dibutuhkan muhasabah atau introspeksi diri atas segala tindakan yang telah dilakukan. Berikut ini dijelaskan pengertian muhasabah disertai dengan dalil, waktu, dan caranya.
BACA JUGA: Hidup Tidak Punya Tujuan, Lakukan 3 Amalan Ini agar Hidup Terarah
Pengertian Muhasabah
Muhasabah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai introspeksi atau mawas diri, yaitu peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, atau kesalahan) diri sendiri.
Muhasabah sebagai sarana menilai dan memeriksa ulang apa yang sudah dilakukan. Hasil muhasabah sendiri bisa dijadikan sebagai cara untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik. Sikap ini perlu dijadikan sebagai kewajiban dalam diri.
Dalil Muhasabah
Berikut ini dalil yang melandasi muhasabah bagi setiap muslim. Di antaranya dalam Al Qur’an surat Al Hasyr ayat 18:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman di dalam surah At-Taubah ayat 126, yaitu:
اَوَلَا يَرَوْنَ اَنَّهُمْ يُفْتَنُوْنَ فِيْ كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً اَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوْبُوْنَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
Artinya: “Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?”
Sayyid Bilal Ahmad Al-Bistani Ar-Rifa’i Al-Husaini, seorang sufi terkemuka dalam salah satu kitabnya yang berjudul Farhatun Nufus bi Syarhi Tajil ‘Arus al-Hawi li Tahzibin Nufus halaman 17 mengatakan sebagai berikut:
فَتَفَكَّرْ فِيْمَا صَنَعْتَ، فَاِنْ وَجَدْتَ طَاعَةً فَاشْكُرْ اللهَ، وَاِنْ وَجَدْتَ مَعْصِيَةً فَوَبِّخْ نَفْسَكَ
Artinya: “Maka berpikir (merenung) lah atas apa yang kamu kerjakan, apabila engkau menemukan ketaatan (dalam pekerjaan itu), maka bersyukurlah kepada Allah, dan apabila engkau menemukan maksiat (di dalamnya) maka celalah dirimu.”
Oleh karena itu, sudah seharusnya seorang muslim melakukan muhasabah sepanjang umurnya. Seorang muslim harus berpikir tentang apa yang akan dilakukan pada pagi, siang, sore, hingga malam hari.
Waktu Muhasabah
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin halaman 420, menganjurkan seseorang mengalokasikan waktu untuk muhasabah atau introspeksi diri pada pagi dan sore hari, sebagaimana berikut:
اعلم أن العبد كما يكون له وقت في أول النهار يشارط فيه نفسه على سبيل التوصية بالحق فينبغى أن يكون له في آخر النهار ساعة يطالب فيها النفس ويحاسبها على جميع حركاتها وسكناتها
Artinya: “Ketahuilah, seorang hamba sebagaimana menyediakan waktu pada awal hari untuk menentukan syarat yang berat bagi dirinya sebagai nasihat pada kebenaran, seyogianya menyediakan waktu pada ujung hari untuk menuntut dan mengadili dirinya baik gerak maupun diamnya.”
Muhasabah di awal waktu penting untuk merencanakan niat, kebaikan-kebaikan, dan menghindari keburukan. Muhasabah di akhir waktu juga tidak kalah penting sebagai kesempatan untuk mengintrospeksi semua perbuatan diri, baik diam maupun gerak.
Cara Muhasabah
Muhasabah bisa dilakukan secara mandiri dengan diri sendiri atau bersama-sama. Muhasabah sendiri, bisa di coba dengan menenangkan diri dengan berwudhu terlebih dahulu, kemudian melaksanakan sholat taubat, beristighfar, dan dilanjutkan dengan muhasabah diri.
Muhasabah bersama, contohnya dengan teman-teman dan guru. Biasanya kegiatan muhasabah ini dilakukan di sekolah menjelang ujian. Tujuannya, bisa sebagai memperkuat keimanan kepada Allah SWT, memperkuat keyakinan diri untuk belajar, serta untuk meminta maaf kepada orangtua.
Banyak cara untuk melakukan muhasabah. Di antaranya adalah dengan tiga cara berikut ini:
1. Menyendiri
Salah satu bentuk muhasabah diri adalah dengan menyendiri. Imam Abu Nuaim Al Ashfani dalam kitabnya Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya menukil sebuah atsar dari Umar bin Al-Khatthab sebagai berikut:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
Artinya: “Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal sholeh) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam haditsnya:
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Artinya: “Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: ‘orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang mengevaluasi (introspeksi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah’,” (HR Tirmidzi).
2. Berkumpul dengan Orang-orang Sholeh
Di antara nikmat yang Allah SWT berikan kepada seorang muslim adalah dengan dikelilingi oleh sahabat yang baik dan sholeh. Mereka akan mengingatkan dan menasihati kekeliruan yang kita lakukan. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
Artinya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa,” (HR Bukhari).
3. Siap Menerima Saran dan Kritik
Seseorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama orang lain dengan niat untuk mencari kebenaran.
Dalam hal ini, pernah terjadi dialog musyawarah antara Umar bin Khattab dan Abu Bakar Ash-Shidiq. Umar mengusulkan di masa kepemimpinan Abu Bakar agar Al-Quran dibukukan menjadi satu mushaf, sebagaimana berikut:
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ: ﻗﻠﺖ ﻟﻌﻤﺮ: «ﻛﻴﻒ ﺃﻓﻌﻞ ﺷﻴﺌﺎ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ؟» ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ: ﻫﻮ ﻭاﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮ، فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
Artinya: Abu Bakar berkata kepada Umar, ‘bagaimana aku melakukannya (pembukuan Al-Qur’an) sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal itu?’ Umar berkata, ‘demi Allah ini adalah sesuatu yang baik.’ Umar terus menerus mengulang hingga Allah melapangkan dadaku dan aku berpandangan seperti Umar,” (HR Bukhari).
Abu Bakar tidak bersikeras dengan pendapatnya ketika terdapat saran yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Demikianlah, dengan muhasabah diri, perbuatan baik pada masa lalu bisa ditingkatkan pada masa depan. Perbuatan buruk pada masa lalu tidak perlu diulangi pada masa yang akan datang. Maka dengan muhasabah, hari esok akan lebih baik, di dunia juga di akhirat, aamiin.
Wallohu A’lam
Oleh Aryan Andika