Pernikahan & Keluarga

Pilihan Berpoligami, Benarkah Membuat Muslimah Menderita

TSIRWAH INDONESIA – Poligami merupakan polemic berat yang seringkali dikhawatirkan oleh muslimah, lantaran ketakutan pada sikap suami yang tidak bisa bersikap adil.

Permasalahan berpoligami adalah istilah yang sudah  familiar jauh sebelum islam ada, dikutip dari tulisan Dr.Yusuf Qaradhawi tentang poligami, disebutkan dalam Injil Perjanjian Lama bahwa Nabi Daud mempunyai tiga ratus orang istri, dan Nabi Sulaiman mempunyai istri tujuh ratus orang.

Barulah pada saat islam hadir dibawa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, ketentuan poligami ditetapkan hukum dan syaratnya.

Dalam hadis Ibnu Hibban dijelaskan, bahwa saat sahabat Rasulullah Ghailan bin Salamah masuk Islam ia dalam keadaan mempunyai sepuluh orang istri, maka Rasulullah SAW memberikan peringatan kepadanya, sebagaimana penjelasan dalam hadits nabi berikut ini:

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًارواه احمد و ابن حبان و البيهقي, وفي رواية للبيهقي بزيادة لفذ “وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ

Artinya: “Diriwayatkan dari Salim dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafy telah masuk Islam dan ketika itu ia mempunyai 10 orang istri , maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Pilihlah 4 orang saja di antara mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqy, dalam lafal al-Baihaqy disebutkan tambahan),Dan ceraikan sisanya.”

Ketentuan ini berlaku untuk semua umat Islam agar menahan istrinya sampai batas empat orang saja. Adapun dengan sembilan istri Rasulullah, mengenai hal ini adalah kekhususan dari Allah sebagai upaya dalam keberlangsungan dakwah, serta kebutuhan umat terhadap mereka setelah Rasulullah wafat.

Melihat dari kondisi umat pada zaman sekarang, dengan populasi perempuan lebih banyak dari laki-laki menjadi dalih untuk melakukan poligami, tanpa memperhatikan hukum dan syarat syariat ini dilarang atau dibolehkan.

Menelusuri dari hikmah poligami itu sendiri, sebagaimana yang disampaikan Ustadzah Oki Setiana Dewi dalam acara Perempuan Berbicara di program TV One, beliau mengutarakan bisa jadi pengambilan tindakan berpoligami sebagai salah satu solusi menghindari terjadinya zina antar sesama teman kerja.

Lebih lanjut, untuk menjawab kecemasan muslimah serta pertimbangan suami sebelum memilih berpoligami, berikut dipaparkan dari tiga sudut pandang:

Cara Agama Islam Menanggapi

Alquran menjelaskan mengenai perkara poligami dalam surah An-Nisa Ayat 3:

وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ‌ ‌ۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ‌ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَلَّا تَعُوۡلُوۡ

Artinya: “Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ayat di atas menjadi dasar hukum dibolehkannya poligami dalam Islam, sekaligus memberikan peringatan kepada orang yang melakukannya. Apabila khawatir tidak bisa berbuat adil, maka dicukupkan untuk monogami (beristri satu). Allah juga mengatakan bahwa hal itu merupakan cara terbaik agar terhindar dari sifat zalim.

Seorang ilmuan islam Sayyid Quthb dalam Tafsirnya Zhilalil Qur’an yang termuat dalam jurnal karangan Firman Doni berjudul Poligami dalam Pandangan Quraish Shihab dan Sayyid Quthb, mengatakan bahwa surah An-Nisa ayat 3 bersifat mutlak, tidak memberikan tempat-tempat batasan keadilan. Maka di dalamnya dituntut bersikap adil dalam semua bentuk, baik yang khusus berkenaan dengan mas kawin maupun yang berhubungan dengan yang lain.

Sudut Pandang Psikologi Manusia

Dilihat dari sudut pandang psikologi seseorang yang poligami, khususnya seorang perempuan yang menjadi korban perbuatan ini, mereka cenderung merasakan tekanan mental.

Berdasarkan hasil penelitian yang disampaikan dalam riset berjudul The Impact of Polygamy on Women’s Mental Health mengatakan bahwa seorang wanita yang mengalami poligami dalam pernikahannya rentan merasakan kecemasan yang tinggi, tidak puas dengan pernikahannya serta memiliki rasa percaya diri yang rendah.

Begini Hukum Berbicara

Hukum Indonesia memberikan penegasan tentang syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami saat hendak mengajukan poligami ke Pengadilan Agama, diantaranya:

Pertama: Adanya persetujuan dari istri, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 yang berbunyi: “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.”

Dilanjutkan dengan Pasal 5 ayat (1a), “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.”

Kedua: Kepastian suami yang bersangkutan mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya, serta jaminan suami akan berlaku adil kepada mereka, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (b) dan (c).

“(b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.”

Ketiga: Pengadilan Agama sebagai lembaga kekuasaan kehakiman dapat memutuskan perkara ini dengan pilihan diterimanya ajuan poligami atau ditolak, sesuai (Pasal 10 ayat 1 UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara.”

Pasal 49 ayat (1a) Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan.”

Serta Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: (a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, (c) istri tidak dapat melahirkan keturunan.”

Kesimpulan:

Berdasarkan ulasan tersebut maka, perkara poligami bukanlah suatu syariat yang bisa dimudah-mudahkan dalam menjalankannya, butuh syarat secara agama maupun hukum pemerintahan yang harus disanggupi, karena dalam memutuskan perkara ini ada dua urgensi yang harus dipertimbangkan yaitu rasa hormat terhadap hukum dan harga diri seorang perempuan.

Wallohu A’lam
Oleh Rahmiwati Abdullah

Penulis: Rahmiwati Abdullah, S.Pd

Content Writer, Aktivis Dakwah, Alumni Pesantren Maskanul Huffadz, Alumni Universitas Negeri Padang. "Mengembara cinta Allah lewat tulisan"

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator