Fiqih & Akidah

PMO (Pornografi, Masturbasi, dan Orgasme) dalam Perspektif Islam

TSIRWAH INDONESIA Akhir-akhir ini kata PMO sering dibicarakan oleh khalayak umum khususnya kaum muda. PMO dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah ‘istimna’ yang artinya mengeluarkan sperma tanpa melalui senggama, baik dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan.

PMO (Pornografi, Masturbasi, dan Orgasme) adalah tiga kata yang sering dikaitkan dengan aktivitas seksual manusia dan berhubungan satu sama lain. Pornografi merujuk pada tontonan atau materi eksplisit yang menggambarkan hubungan seksual atau tindakan sejenisnya. Orgasme adalah puncak kenikmatan seksual, dan masturbasi adalah tindakan memuaskan diri sendiri secara seksual.

Bahasa yang dikenal di masyarakat dibedakan, jika laki-laki dikenal dengan istilah ‘onani’, sedangkan jika perempuan dikenal dengan istilah ‘masturbasi’, keduanya sama cenderung dilakukan sendiri. Bagaimana hukum PMO atau istimna dalam pandangan Islam, berikut penjelasannya:

Hukum istimna baik itu laki-laki maupun perempuan yang dilakukan sendiri masih diperdebatkan oleh para ulama. Beberapa ulama menyebutnya haram secara mutlak, beberapa lainnya menyebut haram dalam kondisi tertentu dan beberapa membolehkan, namun hukumnya makruh.

Ulama yang mengharamkan adalah ulama Maliki dan Syafi’i. Ulama Syafi’i beralasan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menjaga kemaluannya, kecuali di hadapan istri atau budak perempuan dari hasil perang. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mu’minun ayat 5-6:

وَالَّذِيۡنَ هُمۡ لِفُرُوۡجِهِمۡ حٰفِظُوۡنَۙ‏ اِلَّا عَلٰٓى اَزۡوَاجِهِمۡ اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُهُمۡ فَاِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُوۡمِيۡنَۚ‏

Artinya: “Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”

Orang-orang yang keluar dari ketentuan ayat tersebut dianggap melampaui batas, keluar dari fitrah dan melanggar ketentuan Allah SWT. Sebagaimana lanjutan dari ayat di atas dalam surat Al-Mu’minun ayat 7:

فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْعَادُونَrr

Artinya: “Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”

Allah SWT juga memerintahkan agar orang yang belum mampu menikah untuk bersabar, menahan hawa nafsu dan keinginan seksualnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 33:

وَلْيَسْتَعْفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِ

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”

Baca Juga: Kehidupan Manusia Akhir Zaman: 3 Dosa yang Telah Dinormalisasi

Menurut ulama Syafi’i, istimna (onani atau masturbasi) merupakan kebiasaan yang diharamkan dalam penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja dosa onani atau masturbasi lebih ringan daripada dosa berzina karena bahaya yang ditimbulkan tidak sebesar bahaya yang ditimbulkan, oleh perzinaan, seperti kehancuran garis keturunan.

Ulama Maliki berargumentasi tentang hukum istimna haram. Imam Syafi’i dan Imam Maliki mengambil pendapat dari kitab Syu’ab Al-Iman karya Al-Baihaqi sebagai berikut:

سَبْعَةٌ لَا يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ، وَلَا يَجْمَعُهُمْ مَعَ الْعَالَمِينَ، يُدْخِلُهُمُ النَّارَ أَوَّلَ الدَّاخِلِينَ إِلَّا أَنْ يَتُوبُوا، إِلَّا أَنْ يَتُوبُوا، إِلَّا أَنْ يَتُوبُوا، فَمَنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ النَّاكِحُ يَدَهُ 

Artinya: “Ada tujuh golongan yang tidak akan dilihat (diperhatikan) Allah pada hari kiamat, tidak akan dibersihkan, juga tidak akan dikumpulkan dengan makhluk-makhluk lain, bahkan mereka akan dimasukkan pertama kali ke neraka, kecuali jika mereka bertobat, kecuali mereka bertobat, kecuali mereka bertobat. Siapa saja yang bertobat, Allah akan menerima tobatnya. Satu dari tujuh golongan itu adalah orang yang menikah dengan tangannya (onani).”

Ulama Hanafi melarang istimna dalam situasi tertentu dan memperbolehkan dalam situasi lain. Istimna dilarang jika hanya untuk membangkitkan dan mengumbar dorongan syahwat.

Namun, ketika dorongan syahwat kuat dan pasangan sah tempat menyalurkan tidak ada, istimna semata-mata diperbolehkan untuk menenangkannya. Sebab, jika tidak dilakukan, ditakutkan akan terjerumus dalam perbuatan zina, dengan tujuan seperti yang dinyatakan dalam kaidah fiqih yang mengutip dari islam.nu.or.id berikut:

تحصيلاً للمصلحة العامة، ودفعاً للضرر الأكبر بارتكاب أخف الضررين     

Artinya: “Meraih kemaslahatan umum dan menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil sesuatu (antara dua perkara) yang lebih ringan bahayanya.” 

Ibnu ‘Abdidin dari ulama Hanafi berpendapat bahwa istimna wajib dilakukan jika mampu menghindari zina. Inti dari pendapat mereka yaitu terbagi menjadi dua bagian: pertama, bahwa itu boleh karena darurat dan kedua haram karena puasa adalah pilihan terbaik.”

Ulama Hambali berpendapat bahwa istimna tidak haram, kecuali karena khawatir akan kesehatan fisik, mental, atau karena tidak memiliki istri dan tidak mampu menikah.

Menurut sebagian ulama Bashrah, berpendapat bahwa seseorang yang sudah menikah juga boleh melakukan istimna saat dalam perjalanan, bukan saat tinggal di rumah, karena dianggap memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menghindari pandangan dan perbuatan zina.

Kesimpulan

Mayoritas ulama menganggap PMO (Pornografi, Masturbasi, dan Orgasme) atauistimna sebagai sesuatu yang melampaui batas dan melanggar fitrah manusia. 

Tidak mengherankan bahwa ulama Maliki dan Syafi’i mengharamkannya, terutama jika sampai pada tingkatan yang dapat menghalangi seseorang dari pernikahan dan keturunan. Ada pendapat lain mengatakan bahwa hanya pintu darurat atau mengambil bahaya lebih kecil dari dua bahaya yang ada.

Wallohu A’lam
Oleh Hanif Ibrahim 

Editor: Muhammad Agus

Alumni Ponpes As'adiyah, Saat ini menempuh strata 1 di STKQ Al-Hikam Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator