Jamak Sholat dalam Pesta Pernikahan, Berikut Hukumnya
TSIRWAH INDONESIA – Jamak sholat merupakan bentuk rukhsah (kemudahan) yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada manusia sebab adanya uzur.
Jamak sholat sering dijadikan alternatif mengganti sholat dalam pesta pernikahan. Jamak sholat dilakukan karena kesibukan menjamu tamu, repot melepas pakaian pengantin, dan sulit membersihkan dandanan yang dikenakan.
Adapun dalil yang menjadi landasan adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى تين الظهر والعصر والمغرب وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ ولا مطر
Artinya: “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam menjamak sholat Zuhur dan Ashar, sholat Maghrib dan Isya ketika tiba di Madinah tidak dalam kondisi takut juga tidak hujan,” (HR At-Tirmidzi).
Berdasarkan kasus di atas maka muncul pertanyaan, bagaimana hukum fiqih menanggapi hal tersebut? Berikut penjelasannya.
Hukum Jamak Sholat dalam Pesta Pernikahan
Walimatul ‘ursy (pesta pernikahan) merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan Rasulullah SAW untuk dikabarkan kepada masyarakat.
Menurut Imam Syafi’i makanan yang dihidangkan dalam walimah adalah seekor kambing. Hal ini dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW berikut:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَـاةٍ
Artinya: “Adakanlah walimah, sekalipun hanya memotong seekor kambing,” (HR Bukhari Muslim).
Tujuan walimah itu sendiri agar pasangan pengantin terbebas dari fitnah dan menjadi wasilah untuk mendapatkan keberkahan doa dari tamu yang datang.
Pesta pernikahan di Indonesia momen yang sakral dan sangat penting sehingga tidak jarang masyarakat berhabis-habisan mengeluarkan uang mereka untuk membiayai pesta pernikahan berkesan.
Lebih lanjut, kegiatan ini sebagai bentuk syukur dan bahagia dari keluarga khususnya pengantin. Akan tetapi, ketika melangsungkan pesta pernikahan tidak sedikit pasangan pengantin lalai ataupun sengaja meninggalkan sholat.
BACA JUGA : Viral, Memberi Mahar dengan Hafalan Surah Ar-Rahman, Seperti Ini Islam Menjelaskannya
Salah satu alternatif yang diambil adalah jamak sholat. Menanggapi hal tersebut jumhur ulama berbeda pendapat dalam menetapkan sebab yang memperbolehkan jamak sholat.
Menurut ulama Hanafiyah hanya memperbolehkan menjamak bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah, selain keadaan tersebut maka tidak boleh.
Adapun jumhur Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah memperbolehkan menjamak sholat dalam kondisi safar, ketakutan, sakit, dan hujan.
Pendapat ini sesuai dengan pandangan ulama mazhab Syafi’i dalam kitabnya Wahbah Zuhaili yaitu Al-Wajiz.
وقصر الشافعية الجمع على ثلاثة أحوال هي :السفر،والمطر، والحج بعرفة ومزدلفة
Artinya: “Ulama mazhab Syafi’i meringkas jamak sholat diperbolehkan dalam tiga kondisi yaitu: perjalanan, hujan, dan haji pada saat berada di Arafah dan Muzdalifah.”
Terakhir jumhur ulama Hanabilah memberikan kelonggaran membolehkan menjamak sholat jika ada masyaqqah (kesulitan) secara umum, seperti wanita yang istihadhah, wanita menyusui yang terkena air kencing anaknya, dan masyaqqah umum lainnya.
Berdasarkan paparan pendapat ulama di atas, maka tidak ada keterangan yang menjelaskan jamak sholat untuk keadaan walimatul ‘urys (pesta pernikahan).
Penjelasan ini ditegaskan dalam kaidah fiqih:
الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً
Artinya: “Hukum berputar beserta ‘illatnya (alasan), ada dan tiada.”
Kaidah tersebut menjelaskan tidak ada illat maka tidak ada hukum. Illat yaitu landasan yang mendasari adanya hukum.
Berdasarkan kitab Qawaid Al Fiqh Al Islamiyah disebutkan kesibukan dalam resepsi pernikahan tidak dikategorikan al masyaqqah (kesulitan) sehingga tidak dapat dihilangkan dengan rukhsah (kemudahan).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan resepsi pernikahan tidak bisa menjadi alasan untuk melaksanakan jamak sholat.
Wallohu A’lam
Oleh Rahmiwati Abdullah