Viral, Memberi Mahar dengan Hafalan Surah Ar-Rahman, Seperti Ini Islam Menjelaskannya
TSIRWAH INDONESIA – Menggunakan hafalan Alquran seperti surah Ar-Rahman sebagai mahar pernikahan akhir-akhir ini menjadi fenomena baru yang trending pada generasi muda. Dalam Islam memberikan mahar kepada pengantin perempuan sebagai simbol pengikat dalam sebuah pernikahan merupakan suatu kewajiban.
Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan adalah sebuah akad kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Sehingga dalam memulai komitmen tersebut maka pihak laki-laki memberikan mahar kepada calon istrinya sebagai bentuk cinta dan keseriusannya, dan pemberian tersebut menjadi hak milik istrinya.
Allah berfirman dalam Alquran surah An-Nisa ayat 4:
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Artinya: “Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Definisi Mahar dari Berbagai Aspek
Dalam kitab Fiqih Mahar karangan Isnan Anshari menjelaskan mahar berasal dari bahasa arab al-mahru bermakna pemberian untuk seorang wanita karena akad, sedangkan dalam ilmu fiqih mahar memiliki makna lebih luas yaitu pemberian yang menjadi sebab akibat terjadinya hubungan seksual.
Dalam bahasa Indonesia mahar disebut juga dengan maskawin, yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan dengan pemberian pihak pengantin laki-laki (misalnya emas dan barang) kepada pengantin perempuan pada waktu akad nikah, dapat diberikan secara kontan atau hutang.
Penjelasan Ulama Seputar Hukum Hafalan Alquran Sebagai Mahar
Menanggapi kebiasaan masyarakat dalam menjadikan surah Ar-rahman sebagai mahar, sesuai dengan hadis dari Sahl bin Sa’ad, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda:
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ مَعَك شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ؟ فَقَالَ نَعَمْ مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا لِسُوَرٍ سَمَّاهَا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَك مِنْ الْقُرْآنِ
Artinya: “Rasulullah bertanya, “Apakah kamu punya hafalan Alquran?” laki-laki itu menjawab, “Ya, aku hafal surat ini dan ini.” Ia sambil menghitungnya. Beliau bertanya lagi, “Apakah kami benar-benar menghafalnya?” ia menjawab, “Ya.” Akhirnya beliau bersabda: “Kalau begitu, pergilah. Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Alquran,” (HR Bukhari).
Adapun anggapan masyarakat terhadap hadis tersebut adalah kesimpulan yang dipahami kontekstual sehingga tidak mengindahkan esensi yang terkandung di dalamnya.
Dalam buku Mahar Sebuah Tanda Cinta Terindah karangan Firman Arifandi menjelaskan makna dari mengajarkan Alquran bukan setor hafalan. Makna dari kalimat “Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Alquran,” maksudnya adalah perintah bagi seorang laki-laki untuk mengajarkan istrinya Alquran dari hafalan yang dimilikinya.
Dalam pendapat lain Imam Nawawi menyimpulkan, hadis tersebut bermakna bahwa mahar terbaik itu adalah pengajaran Alquran, komentar lainnya dari Ibnu Batthal menurutnya hadis tersebut maksudnya adalah mengajarkan Alquran kepada istri, agar kelak istri dapat mengambil manfaat berupa upah dari pengajaran Alquran tersebut.
Dalam kitab Fath Al-Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa sabda Rasulullah tersebut ditafsiri dengan dua bentuk penafsiran.
Pertama, pendapat terkuat, mengajarkan istri dengan apa yang ia bisa dari Alquran atau kadar tertentu dari Alquran dan hal itu dijadikan sebagai maharnya. Penafsiran atau pemaknaan ini diriwayatkan dari Imam Malik dan dikuatkan oleh riwayat lain melalui jalur yang sahih.
Kedua, Rasulullah memuliakan para penghafal Alquran, sehingga saat menikah dibolehkan tanpa mahar. Masalah pernikahan tanpa mahar ini selaras dengan kisah pernikahan Abu Ṭalhah dengan Ummu Sulaim.
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah terdapat satu pasal membahas hukum menjadikan hafalan Alquran sebagai mahar (hukum Ja’li Tahfīdz Alquran Al-Karim Sadaq). Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa ahli fiqih berbeda pendapat akan hal ini.
Menurut mazhab Hanafi, Maliki (dalam pendapat yang masyhur), dan satu riwayat dari Ahmad, hafalan Alquran tidak bisa dijadikan mahar, karena faraj perempuan tidak bisa dihalalkan dengan selain harta (mal) dan hafalan Alquran hanya berfungsi sebagai pendekatan diri kepada Allah bagi pelakunya.
Sementara menurut mazhab Syafi’i berbeda dengan pendapat yang masyhur dari sebagian mazhab Maliki dan satu riwayat dari Ahmad menyatakan boleh menjadikan hafalan Alquran sebagai mahar, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan hal itu.
Para ulama yang memperbolehkan pendapat ini mensyaratkan untuk menentukan surat atau ayat mana yang dihafalkan sebagaimana kewajiban memenuhi kadar atau jumlah surat dan ayat yang telah disepakati.
Wallohu A’lam
Oleh Rahmiwati Abdullah
Zaman Rasul memungkinkan seseorang tidak memiliki apapun kecuali pakaian yang di pakai sehingga membolehkan mahar demikian, namun sekarang bagaimana? Masih relevan kah, dengan model demikian, namun setelahnya dengan resepsi mewah