Hukum Makan Kepiting: Haramkah atau Halal, Ternyata Begini
TSIRWAH INDONESIA – Hukum memakan kepiting sering dibahas oleh masyarakat kita, terutama terkait latar belakang hidupnya apakah hanya di air saja atau di dua alam.
Artikel ini akan membahas hasil diskusi di Grup WhatsApp Tsirwah Indonesia mengenai Hukum Makan Kepiting, antara halal dan haramnya, berikut silahkan disimak sampai selesai.
TANYA JAWAB
🅃🅂🄸🅁🅆🄰🄷 🄸🄽🄳🄾🄽🄴🅂🄸🄰
Pesantren Digital, Malang, Jatim
16 Desember 2022
Hukum Makan Kepiting, Haramkah atau Halal?
PERTANYAAN
Izin bertanya ustadz, tentang subhat kehalalan makanan hewan air, seperti keong sawah dan kepiting menurut para asatidz gimana
JAWABAN
Beberapa pendapat mengatakan bahwa Kepiting berbeda dengan Rajungan, dengan definisi singkata sebagai berikut:
- Kepiting : hidup di dua alam
- Rajungan : tidak hidup di dua alam, buktinya ketika ia ke daratan dia akan segera kelabakan
Dari penjelasan singkat di atas, maka dikemukakan hukum bahwa Kepiting adalah haram untuk dimakan, sedangkan Rajungan halal.
📚 Kitab I’anatuth Tholibin
قال ع ش: وليس من السرطان المذكور: ما وقع السؤال عنه، وهو أن ببلاد الصين نوعا من حيوان البحر يسمونه سرطانا، وشأنه أنه متى خرج من البحر انقلب حجرا، وجرت عادتهم باستعماله في الأدوية، بل هو ما يسمى سمكا لانطباق تعريف السمك عليه فهو طاهر، يحل الانتفاع به في الأدوية وغيرها.
[البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,2/401]
Selanjutnya, ada pendapat yang menyatakan khilaf tentang keharaman kepiting, sebagian berpendapat atas keharamannya dan ini disepakati oleh Jumhur Ulama.
Namun, sebagian juga berpendapat bahwa Kepiting tidak haram untuk dimakan. Tentu pendapat ini juga sudah dilakukan oleh Ulama Ahli di bidangnya dan sudah melalui uji materi sekaligus lapangan.
- Imam Abu Hamid dan Imam Haramain, menjelaskan bahwa Katak dan Kepiting adalah haram dan disepakati oleh Jumhur.
- Imam Baghowiy, berpendapat bahwa Kepiting tidaklah haram untuk dimakan.
📚 Kitab Majmu’ Syarh Muhadzab
(الضَّرْبُ) الثَّانِي مَا يَعِيشُ فِي الْمَاءِ وَفِي الْبَرِّ أَيْضًا فَمِنْهُ طَيْرُ الْمَاءِ كَالْبَطِّ وَالْإِوَزِّ وَنَحْوِهِمَا وَهُوَ حَلَالٌ كَمَا سَبَقَ وَلَا يَحِلُّ مَيْتَتُهُ بلا خلاف بل تشترط زكاته
وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ الْمَنْصُوصِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَفِيهِمَا قول ضعيف انهما حَلَالٌ وَحَكَاهُ الْبَغَوِيّ فِي السَّرَطَانِ عَنْ الْحَلِيمِيِّ.
[النووي، المجموع شرح المهذب، ٣٢/٩]
Tambahan keterangan terkait persoalan kepiting antara simalakama menyembelihnya atau tidak, berikut ini:
Setiap apa yang (dapat) hidup di daratan berupa binatang melata laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih.
📚 Kitab Mughni, Ibnu Qudamah
كُلُّ مَا يَعِيْشُ فِي الْبَرِّ مِنْ دَوَابِّ الْبَحْرِ لَا يَحِلُّ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ كَطَيْرِ الْمَاءِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَكَلْبِ الْمَاءِ إِلَّا مَا لَا دَمَ فِيْهِ كَالسَّرَطَانِ فَإِنَّهُ يُبَاحُ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ
🪶 Selain pendapat-pendapat di atas, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul. Akhir 1423 H./15 Juni 2002, memberikan kesimpulan Bahtsul Masailnya sebagai berikut:
- Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.
- Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
✒️ KESIMPULAN
Sebagian Ulama berpendapat atas keharaman Kepiting untuk dikonsumsi dan sebagian lainnya berpendapat atas kehalalannya, semua telah diuji melalui jalur dan cara semestinya, selama memakan Kepiting tidak menimbulkan mudhorot bagi yang memakannya.
Jika menimbulkan mudhorot, maka baik Kepiting ataupun lainnya yang halal, juga bisa menjadi tidak boleh untuk dikonsumsi pada momen membahayakan tersebut.
Wallohu Alam
Oleh : Ustadz Hafidz, mengambil dari hasil diskusi di Grup WhatsApp
Ikuti telegram kami : KLIK DI SINI
Grup WA : KLIK DI SINI