Ulama Akhirat: Jangan Terkecoh, Inilah Ciri-Ciri Ulama yang Sesungguhnya
TSIRWAH INDONESIA – Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat memuliakan ulama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ulama merupakan orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.
Kemuliaan ulama banyak termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis. Kemuliaan ulama tentu dikarenakan kemuliaan ilmu yang merupakan warisan para nabi dan rasul. Mereka tidak mewarisi harta maupun tahta, melainkan mewarisi ilmu.
Meski demikian, banyak juga hadis yang berbicara mengenai kehinaan ulama dan ancaman-ancamannya. Hal ini karena mereka menjadikan ilmu sebagai jembatan meraih dunia yang hina.
Ulama terbagi menjadi tiga, yaitu ulama akhirat, ulama dunia yang bertaubat, dan ulama dunia yang tidak bertaubat sampai ajal menjemputnya.
Ciri-Ciri Umum Ulama Akhirat
Menurut Imam Al-Ghazali, ulama terbagi tiga salah satunya adalah ulama akhirat. Ulama akhirat adalah ulama yang hanya mencari ridho Allah SWT dan balasan di akhirat dengan ilmunya.
Ulama akhirat kelak akan selamat dari siksa neraka dan mendapatkan keuntungan dan kebahagiaan di surga. Syekh Nawawi Banten menyebutkan ciri-ciri ulama akhirat sebagai berikut:
وعلامة عالم الآخرة ثلاثة: وهي عدم طلب الدنيا بالعلم، وكون قصده بالاشتغال بالعلوم نيل سعادة الآخرة، فيكون معتنيا بعلم الباطن سائسا لقلبه بمجاهدة النفس، وكون اعتماده في العلوم على اتباع صاحب الشريعة صلى الله عليه وسلم في أفعاله وأقواله
Artinya: “ciri-ciri ulama akhirat ada tiga: (1) tidak mencari dunia dengan ilmunya, (2) Tujuannya dalam mendalami ilmu adalah untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Maka dari itu, ia bersungguh-sungguh mendalami ilmu batin yang merawat hati dengan mujahatun nafs, (3) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dijadikan sebagai sandaran dan teladan dalam mengamalkan ilmunya, baik perilaku maupun perkataannya.”
Indikator Ulama yang Tidak Mencari Dunia dengan Ilmunya
Ulama akhirat tidak menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencari dunia. Syekh Nawawi Banten dalam kitab Maraqiy al-Ubudiyyah menyebutkan beberapa indikator berikut ini:
1. Bergegas dalam mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Hal ini karena didasari rasa takut kepada Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surah Fatir ayat 28:
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
Artinya: “di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”
Ulama yang sesungguhnya merupakan orang paling memiliki rasa takut kepada Allah SWT, karena ia telah mengenal Allah atau disebut al-arif billah.
2. Menghindari berlebih-lebihan dalam urusan dunia, baik berupa sandang, pangan, dan papan.
3. Menghindari lingkungan kekuasan dalam rangka mencari jabatan, sebagaimana hadis yang dikutip di laman jabar.nu.or.id, Rasulullah SAW bersabda:
اَلْعُلَمَاءُ أُمَنَاءُ الرُّسُلِ عَلَى عِبَادِ اللّٰهِ مَالَمْ يُخَالِطُوا السُّلْطَانَ وَيُدَاخِلُوْا الدُّنْيَا فَإِنْ خَالَطُوْا السُّلْطَانَ وَدَخَلُوْا فِي الدُّنْيَا فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ فَاحْذَرُوْهُمْ وَاعْتَزِلُوْهُمْ
Artinya: “Ulama itu adalah pemegang amanah para utusan (rasul) atas hamba-hamba Allah Swt., selama mereka tidak bergaul dengan penguasa (sulthan), dan memasuki urusan dunia. Namun apabila mereka telah bergaul dengan penguasa dan telah memasuki urusan dunia maka sungguh mereka telah mengkhianati para rasul, maka berhati-hatilah kepada mereka dan jauhilah mereka,” (HR. Ad Dailami dan Ar Rafi’i).
Adapun jika memasuki lingkungan kekuasaan dalam rangka menasehati penguasa dan mencegah kezaliman-kezalimannya, maka diperbolehkan.
4. Tidak bergegas dalam mengeluarkan fatwa. Sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat, ketika ditanya mengenai suatu hukum dan diminta berfatwa, mereka mengarahkan penanya kepada yang lebih mengetahui persoalan yang ditanyakan tersebut.
Wallohu A’lam
Oleh Agus Supriyadi