Hikmah & Wawasan

4 Pendekatan Penafsiran, Begini Penjelasannya

TSIRWAH INDONESIA – Di masa lampau, para mufasir bergantung pada internal keilmuan Islam sebagai alat penafsiran. Internal keilmuan Islam yang dimaksud ialah seperti ulumul quran, Alquran, hadis maupun kitab-kitab tafsir terdahulu.

Akan tetapi, perkembangan zaman menuntut para mufasir menggunakan pendekatan baru sebagai alat bantu penafsiran. Dengan demikian, muncul ragam penafsiran sesuai dengan pendekatan yang digunakan.

Ragam pendekatan muncul sebagai jawaban atas pertanyaan yang timbul dari politik, sosial, dan budaya yang terjadi di tempat mufasir tersebut tinggal.

Tulisan ini akan mengulas empat ragam penafsiran yang ada saat ini, begini penjelasannya:

Sesuai dengan namanya, suatu penafsiran didasarkan pada pertimbangan akal dan aspek penalaran. Penyelarasan dengan relaita adalah cara memahami ayat Alquran yang bermakna transenden secara teks.

Setidaknya terdapat tiga nama populer lainnya untuk menamai penafsiran dengan pendekatan rasional yakni takwil, tafsir bil ‘aql dan tafsir bil ra’y.

Salah satu mufasir yang menggunakan pendekatan rasional ialah Sayyid Ahmad Khan.

Di dalam laman tanwir.id dikatakan bahwa, Sayid Ahmad Khan menafsirkan malaikat sebagai sebuah dukungan moral dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk membesarkan hati manusia dari cobaan.

Terdapat pro kontra di kalangan ulama tafsir terhadap tafsir bil ra’y. Ulama yang tidak setuju menganggap bahwa, kesucian Alquran tidak pantas untuk dijelaskan akal manusia.

Terlebih tafsir bil ra’y rawan akan bias kepentingan pembaca, sehingga berpotensi mereduksi makna objektif ayat Alquran itu sendiri.

Salah satu legitimasi yang digunakan kelompok ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

ومن قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: “dan barangsiapa mengatakan tentang Alqur’an dengan pendapatnya, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka,” (HR. Tirmidzi)

Sedangkan pendapat yang setuju beralasan bahwa terkadang sahabat memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu ayat. Hal ini mengisyaratkan bahwa nabi tidak menjelaskan seluruh isi kandungan Alquran.

Zulkarnaini dalam artikel jurnal yang berjudul ‘Ragam Metodologi Memahami Al-Qur’an: Cara Baru Mendekati Ayat Tuhan’ mengatakan bahwa, pendekatan rasional menciptakan suatu keberanian, bukan hanya memaknai Alquran di luar nukilan teks, melainkan juga dari alam nyata.

Jika pendekatan rasional berpusat pada kesesuaian akal, maka pendekatan ilmiah memiliki cakupan yang lebih luas, yakni melibatkan sains dan keilmuan empirik lainnya.

Alasan ‘ilmi digunakan sebagai pendekatan penafsiran dikarenakan banyak ayat-ayat di dalam Alquran yang menjelaskan fenomena alam yang memerlukan pendekatan ilmiah untuk memahaminya.

Pendekatan ini digunakan juga sebagai bukti bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, surah Yasin ayat 40 menjelaskan tentang peredaran matahari dan bulan:

لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ

Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.”

Ayat tersebut sekalipun kalamullah, akan tetapi juga menjelaskan fenomena alam yang dalam disiplin umum masuk ke dalam ilmu astronomi.

Salah satu mufasir yang terkenal dengan pendekatan limiah yaitu Muhammad Abduh dengan karya tulisnya yang berjudul Tafsir Al-Manar.

Sebagai contohnya, mengutip tulisan Junaidi dalam artikel yang berjudul ‘Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abbduh dan Rasyid Ridla’, Abduh menafsirkan peristiwa yang dialami pasukan gajah dalam surah Al-Fiil bukanlah burung Ababil sebagaimana tertulis dalam teks, melainkan virus ataupun bakteri yang membinasakan mereka.

Beberapa argumentasi kontra terhadap tafsir ‘ilmi. Dalam buku ‘Tafsir Ilmi: Waktu dalam Perspektif Alquran dan Sains’ dijelaskan bahwa, secara teologis tergolong rapuh dikarenakan Alquran merupakan kitab petunjuk.

Adapun apabila terdapat isyarat-isyarat ilmiah di dalamnya tidak lain untuk memberi petunjuk pembacanya, bukan sebagai legitimasi teori-teori modern.

Secara logika, Alquran bersifat kekal dikarenakan kalamullah. Sedangkan ilmu pengetahuan dapat berubah seiring perkembangan zaman dan ditemukannya penemuan baru yang mematahkan teori lama.

Melalui dua kutub yang berbeda di atas, tidak sepantasnya sesuatu yang kekal ditafsirkan dengan teori ilmiah yang bersifat dinamis.

Berbanding terbalik dengan pendekatan sebelumnya, pendekatan sastra menekankan aspek internal Alquran sebagai objek kajian. Sebagai teks Arab, sudah sepantasnya Alquran dikaji dengan mempertimbangkan aspek sastrawi untuk menggali makna sesungguhnya.

Pengguaan pendekatan sastrawi dalam penafsiran diawali oleh Amin Al-Khulli, seorang profesor di Universitas Kairo, Mesir.

Rahman dalam tulisan yang berjudul ‘Amin Al-Khuli, Pendekatan Kritik Sastra Terhadap Alquran’ mengatakan bahwa Al-Khulli selama hidupnya tafsir Alquran. Meski demikian, beberapa buku tulisannya berperan penting dalam cara penafsiran berbasis sastra.

Sejak tahun 1933 bersama rekannya, Taha Husayn menyatakan bahwa kitab suci dari ketiga agama yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam merupakan warisan sastra umat manusia.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penggalian makna berdasarkan analisis teks sastra, baik itu Bibel di Kristen, Taurat di Yahudi manupun Alquran di Islam.

Dalam tradisi Islam, peristiwa turunnya Alquran disebut asbabun nuzul yang tidak lain merupakan bagian dari kajian sejarah. Daud Rahbar pernah mengatakan bahwa tidak akan ada pesan yang diturunkan kepada seorang kecuali mengacu pada situasi nyata.

Salah satu sarjanawan Islam yang menggunakan pendekatan ini dalam penafsiran adalah Muhammad Daud Rahbar dari Lahor, Pakistan sebagaimana tulisan Janah dalam artikel yang berjudul Sejarah Metodologi Tafsir Alquran Dan Hadits.

Fazlur Rahman mengusulkan dalam bukunya, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, untuk memberikan solusi berupa hermeneutik dengan pendekatan sejarah keadaaan kenabian Muhammad, sehingga memunculkan makna yang relevan di masa sekarang. 

Tegasnya, pokok Alquran terdiri dari moral, agama, dan hukum sosial, yang muncul akibat dari situasi sejarah. Terutama permasalahan yang muncul di fase Makkah (nabi sebelum hijrah).

Untuk itu, penafsiran di masa sekaran diperlukan metode yang disebut gerakan ganda (double movement), yakni membaca Alquran dengan mempertimbangan kondisi situasi sekarang dan situasi di masa Alquran diturunkan.

Demikian empat pendekatan tafsir yang ada di zaman ini. Kemunculan beragam pendekatan tidak lain merupakan usaha para mufasir untuk membuat cara pandang baru dalam membaca teks Alquran. 

Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan zaman serta memudahkan para pembaca memahami Alquran. 

Wallohu A’lam
Oleh Ustadz Muhammad Wildan

Editor: St. Chikmatul Haniah

Aktivis Dakwah, Penulis, Content creator, serta peniti karir akhirat dengan membangun rumah santri virtual melalui media sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator