4 Tokoh Tafsir Indonesia, Yang Terakhir Baru Selesai Penulisannya
TSIRWAH INDONESIA – Umumnya, dunia tafsir dipenuhi oleh tokoh dari Timur Tengah. Alasannya tempat tersebut merupakan bahasa Arab berasal. Namun demikian, Indonesia ternyata tidak kalah dalam hal produksi tafsir beserta ke’aliman ulama nya.
Tulisan ini berusaha memaparkan empat tokoh tafsir yang ada di Indonesia, baik yang hidup pra kemerdekaan, kemerdekaan, maupun pasca kemerdekaan, berikut ulasannya:
4 Tokoh Tafsir di Indonesia
1. Syekh Nawawi Al-Bantani (Tafsir Marah Labid)
Syekh Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama dari Banten. beliau lahir di Kampung Tanara, Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa (sekarang Kecamatan Tanara), Kabupaten Serang, Banten, pada tahun 1230 Hijriyah atau 1815 Masehi.
Dikutip dari qotrunnada-depok.ponpes.id, Syekh Nawawi al-Bantani adalah ulama yang sangat produktif yang menulis lebih dari 115 kitab tentang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Sejak usia lima tahun, Syekh Nawawi al-Bantani belajar agama langsung dari ayahnya. Dia juga belajar dari K.H. Sahal dan Syekh Baing Yusuf Purwakarta.
Semasa tinggal di Makkah, beliau pernah bertugas sebagai Imam Masjidil Haram, dengan nama lain Sayyid Ulama al-Hijaz, al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Imam Ulama al-Haramain.
Salah satu karya terkenal Syekh Nawawi al-Bantani adalah Tafsir Marah Labid. Dalam Tafsir Marah Labid, Syekh Nawawi al-Bantani menggunakan metode Ijmali dan Tahlili, memadukan bentuk bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y.
Dia menggunakan berbagai disiplin ilmu, seperti Aqidah, Ilmu Kalam, Fiqh, dan Tasawuf, karena luasnya pengetahuannya.
2. Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar)
Buya Hamka memiliki nama asli Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama Indonesia yang terkenal karena banyak karyanya, salah satunya adalah Tafsir Al-Azhar. Buya Hamka lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908 M.
Dia dibesarkan dalam keluarga yang sangat beragama. Dikutip dari kepustakaan-keagamaan.perpusnas.go.id setelah kembali dari Makkah pada tahun 1906 M. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah, yang lebih dikenal dengan nama Haji Rasul, memimpin Gerakan Islah (pembaharuan) di Minangkabau.
Sebagai guru agama di perkebunan Tebing Tinggi, Buya Hamka kemudian menjadi guru di Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Selama studi dan pekerjaannya, ia banyak belajar tentang berbagai topik, seperti sastra, filsafat, sejarah, sosiologi, dan politik. Ia juga menjadi Rektor UI Jakarta.
Sejarah Tafsir Al-Azhar dimulai ketika Buya Hamka mulai menafsirkan Al-Qur’an dalam ceramah subuh di Masjid Agung Al-Azhar di Jakarta pada tahun 1959. Selain itu, ia berbicara di masjid saat itu.
Tafsir Al-Azhar ditulis dalam waktu beberapa tahun, dan Buya Hamka menulisnya di berbagai rumah tahanan yang berbeda.
Tafsir Al-Azhar akhirnya diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1967. Para ulama Mesir dan utusan dari Aceh, Palembang, dan Kalimantan membantu proses penerbitan.
Juz 1–4 diterbitkan oleh Penerbit Pembimbing Masa, dan Juz 15–30 diterbitkan oleh Pustaka Islam Surabaya; Juz 5–14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.
BACA JUGA : 4 Mukjizat Al-Qur’an: Umat Islam Wajib Tahu, Simak
3. Quraish Shihab (Tafsir Al-Misbah)
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA, adalah ulama Indonesia yang terkenal karena tafsir Al-Qur’an. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944.
Dia dibesarkan dalam keluarga yang sangat beragama. Ayanya, Prof. Abdurrahman Shihab, adalah ulama terkemuka yang pernah menjabat sebagai rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN Alauddin Ujungpandang.
Sebelum menjadi seorang ulama terkenal, Quraish Shihab belajar di banyak tempat, seperti Makassar dan Mesir. Ia menjabat sebagai rektor, menteri, dan ahli tafsir terkenal selama karirnya, dan dikenal sebagai ulama Indonesia pertama yang memiliki spesialisasi dalam tafsir Al-Qur’an.
Selain itu, mengutip quraishshihab.com, ia mendirikan Pusat Studi Al-Qur’an di Indonesia dengan tujuan untuk membumikan Al-Qur’an kepada masyarakat yang memiliki berbagai jenis pilihan.
Sejarah penulisan Tafsir Al-Misbah dimulai dengan perjalanan akademik dan karir M. Quraish Shihab. Shihab dibesarkan dalam lingkungan yang kuat beragama dan menempuh pendidikan di berbagai tempat, termasuk Universitas Al-Azhar Mesir, di mana ia meraih gelar sarjana tafsir hadist dan master dalam bidang tafsir Al-Qur’an.
Setelah kembali ke Indonesia, ia menyelesaikan program doktornya di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar.Shihab menulis Tafsir Al-Misbah di Kairo, Mesir, dan selesai menyelesaikannya di Indonesia pada tahun 2003.
Karya ini dirancang untuk menjadi lampu yang menerangi pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an. Shihab menulisnya dengan tujuan agar menjadi referensi yang informatif, argumentatif, dan mudah dicerna oleh berbagai kalangan, dari akademisi hingga masyarakat umum.
4. Afifudin Dimyathi (Hidayatul Qur’an fi Tafsir Al-Quran bil Qur’an)
Afifudin Dimyathi, yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Awis, adalah seorang ulama Indonesia yang terkenal karena produktivitasnya dalam menulis karya-karya agama. Lahir pada 7 Mei 1979 di Jombang, Jawa Timur, Gus Awis berasal dari keluarga yang kuat beragama.
Mengutip cariustadz.id, Ayahnya, KH. Dimyati bin KH. Romli At-Tamimi, adalah seorang Mursyid Thoriqoh Mu’tabaroh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, yang jalur kemursyidannya sampai ke Syekh Abdul Qodir Al-Jailani hingga Nabi Muhammad SAW.
Gus Awis menempuh pendidikan di berbagai tempat, termasuk Al-Azhar University Mesir, Khartoum International Institute for Arabic Language, dan Al Neelain University. Ia mengahafal Al-Qur’an di Pesantren Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman Yogyakarta.
Selama karirnya, ia menjabat sebagai Katib Syuriah PBNU dan dikenal sebagai ulama muda yang produktif, dengan menulis puluhan kitab dan jurnal tentang bahasa dan sastra Arab hingga Tafsir Al-Qur’an.
Hidayatul Quran fi Tafsir Al-Quran bil Qur’an merupakan kitab tafsir perdana tulisan beliau. Sejarah penulisannya dimulai dengan inspirasi Gus Awis dari nama pondok pesantrennya, Asrama Hidayatul Quran, yang dikelolanya di Peterongan, Jombang.
Gus Awis menghabiskan waktu selama satu tahun lima bulan untuk menyelesaikan karya monumental ini, yang kemudian dicetak oleh Dar al-Nibras di Kairo, Mesir, pada tahun 2023.
Penulisan Hidayatul Quran dilakukan dengan pendekatan Tafsir al-Quran bi al-Quran, yang berarti menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan Al-Qur’an sendiri.
Karya ini dirancang untuk memudahkan orang-orang dalam memahami Al-Qur’an dan membantu para hafiz dalam mengingat hafalan mereka.
Demikianlah empat tokoh tafsir di Indonesia: Imam Nawawi Al-Bantani dengan Tafsir Marah Labid, Buya Hamka dengan Tafsir Al-Azhar, Prof. Quraish Shihab dengan Tafsir Al-Misbah, dan Dr. Afifudin Dimyati dengan Hidayatul fi Tafsir Al-Qur’an Bil-Qur’an.
Wallohu A’lam
Oleh Ustadz Muhammad Wildan Saiful Amri Wibowo