Tokoh & Sejarah

Biografi Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani: Sang Amirul Mukminin dalam Ilmu Hadits

TSIRWAH INDONESIA – Imam Ibnu Hajar namanya sangat masyhur, keilmuannya tidak diragukan lagi, khususnya dalam ilmu hadits dan fiqih. Ia seorang anak yatim piatu, namun semangatnya  mengalahkan mereka yang masih memiliki orang tua lengkap.

Ia adalah seorang faqih (ahli fiqih) yang kredibel dan pernah menjabat sebagai Qadhi Al-Qudhat (hakim agung) mazhab Syafi’i. Ia juga seorang muhaddits (ahli hadits), bahkan ia memiliki gelar amirul mukminin dalam ilmu hadits. Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, begitulah namanya dikenal banyak orang.

Nama lengkapnya adalah Imam Syihabuddin Abul Fadl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad Al-Asqalani Al-Mishri Asy-Syafi’i.

Kelahiran Sang Imam

Terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai tanggal kelahiran Sang Imam. Tanggal kelahiran Imam Ibnu Hajar menurut Al-Syaukani yaitu di tanggal 2 Sya’ban. Menurut Al-Suyuthi dan Al-Sakhawi yaitu di tanggal 12 Sya’ban. Sedangkan menurut Ibnu Fahd yaitu di tanggal 13 Sya’ban.

As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir Waddurar fi Tarjamati Syaikhil Islam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Ibnu Hajar dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun 773 hijriah/1372 masehi di desa Asqalan (Ashkelon), Palestina.

Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Muqaddimah Tadzibut Tahdzib juz I halaman 2, mengatakan bahwa kelahiran beliau di Mesir, tepatnya di dekat sungai Nil. Namun, pada intinya ulama sepakat bahwa ia tumbuh dan wafat di Kairo, Mesir.

Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu

Dididik oleh keluarga yang mengenal agama dengan baik dan seorang ayah yang baik. Sang ayah, yang bernama Ali ialah orang yang sangat cinta kepada ilmu dan ulama. Beliau banyak belajar dan menuntut ilmu dengan ulama sezamannya seperti Ibnu Sayyidinnas Sahibussirah, Badruddin Ibnu Jama’ah, Ibnu Aqil dan lain-lain.

Ibnu Hajar kecil telah ditinggal wafat ayahnya ketika berumur empat tahun, bahkan oleh sang ibunya yang bernama Tijar binti Fakhri Abi Bakr bin Syams Muhammad bin Ibrahim Az-Ziftawi sebelum berumur empat tahun. Ketika itu sang ayah pergi berhaji dan ziarah ke Baitul Maqdis bersama Ibnu Hajar kecil, menetap di sana beberapa pekan pada tahun 777 H.

Ternyata Allah berkehendak bahwa sang ayah wafat pada tahun itu. Sebelum wafat, sang ayah berwasiat kepada sahabatnya Zakiyuddin Abu Bakar bin Ali Al-Kharrubi, seorang pedagang, sang ayah menitipkan Ibnu Hajar agar diasuh setelah dirinya tiada.

Setahun setelah kepergian sang ayah, Ibnu Hajar dimasukkan ke lembaga pendidikan Islam untuk mempelajari dan menghafal Al-Quran dan menyelesaikannya pada umur sembilan tahun. Ia memulai mengimami sholat tarawih pada umur dua belas tahun.

Di negeri Hijaz, beliau mulai mengambil kesempatan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama seperti Shahih Al-Bukhari kepada pembesar ulama Hijaz yaitu Syekh Afifuddin An-Nasyawiri dan diberi ijazah sanad kitab tersebut.

Rihlah Ilmiah

Setelah beberapa tahun tinggal di negeri Hijaz, beliau akhirnya pulang ke tanah air tercinta untuk mengarungi lautan ilmu di kota Kairo.

Di Kairo beliau kemudian menikah dan menetap di dekat Babul Qantharah daerah Bab Al-Syariyah yang berdekatan dengan madrasah gurunya Sirajuddin Al-Bulqini. Di sana masih ada masjid beliau hingga kini.

Dari Kairo beliau kembali rihlah ke kota Alexandria pada akhir tahun 797 H, lalu ke Yaman pada tahun 799 H, hingga pergi haji ke Baitullah dan kembali ke Kairo. Kemudian pergi ke Yaman untuk kedua kalinya pada tahun 806 H, negeri Syam dan lain-lain, lalu kembali untuk keberapa kalinya ke kota Kairo hingga akhir hayatnya.

Banyak rihlah ilmiah lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Metode rihlah telah ada sejak zaman dahulu. Rihlah ke beberapa negeri yang sebagaimana ulama terdahulu mewasiatkan untuk menuntut ilmu di tempat lain agar siap terjun di masyarakat kelak.

Guru Sang Imam

Di Mesir, beliau memiliki banyak guru, baik secara riwayah (transmisi-keilmuan), dirayah (transmisi-kecakapan) dan tazkiyah (transmisi budi-pekerti). Beliau belajar dengan para pembesar ulama Al-Azhar dan Mesir pada masa itu, seperti Ibnul Mulaqqin dan Sirajuddin Al-Bulqini. Kepada keduanya Imam Ibnu Hajar mengaji ilmu fiqih dan semua yang berkaitan dengan kaidah dan Ushul Fiqih, begitu juga belajar fiqih dari Burhanuddin Al-Embasi.

Ada juga ulama Al-Azhar lainnya, seperti Zainuddin Al-Iraqi, beliau mendalami ilmu hadits kepadanya mulazamah (menyertai secara kontinu) selama sepuluh tahun, hingga sang guru memberi izin beliau boleh mengajarkan Hadits dan Ulumul Hadits.

Adapun ilmu Qiraat serta tajwid, beliau mulazamah kepada gurunya Burhanuddin Ibrahim At-Tanukhi, dan masih banyak lagi.

Di Negeri Yaman beliau bertemu dengan Imam Muhammad bin Yaqub Fairuz Abadi penulis kitab Qamus Al-Muhith dan mengambil ijazah dari kitab tersebut.

Di negeri Syam beliau belajar kepada Imam Qiraat ternama Ibnul Jazari dan belajar beberapa pekan di madrasahnya pada tahun 802 H dan pada tahun 836 H setelah 3 tahun wafat gurunya Ibnul Jazari.

Banyak guru-guru lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang jumlahya mencapai 630 guru sebagaimana yang dituturkan oleh murid dekatnya As-Sakhawi.

Murid Sang Imam

Murid-murid beliau begitu banyak, dan beberapa murid beliau yang masyhur hingga kini seperti: Syamsuddin As-Sakhawi, Zakaria Al-Anshari, Fakhruddin Ad-Daimi, Jalaluddin Al-Mahalli, Ibnu Taghri Bardi, Burhanuddin Al-Buqa’i, Kamaluddin Ibnul Humam, Taqiyyuddin Ibnu Fahd dan masih banyak lainnya.

Ulama Produktif

Imam Ibnu Hajar selain dikenal sebagai ulama yang sangat luas ilmunya, beliau juga dikenal sebagai ulama yang sangat produktif. Tepat pada tahun 796 hijriah bertepatan pada usianya ke 23 tahun, beliau mulai menulis kitab.

Karangan beliau mencapai kurang lebih 289 karangan, sebagaimana yang dituturkan Syekh Abdussattar dan 282 karangan menurut Syekh Syakir Mahmud.

Dalam muqaddimah kitab Taqribut Tahdzib disebutkan bahwa kitabnya lebih dari ratusan, di antaranya: Al-Isabah fi Tamyizis Sahabah, Fathul Bari, Lisanul Mizan, Tahdzibut Tahdzib, Ta’jilul Manfa’ah, Al-Ihtifal bi Bayani Ahwalir Rijal, Ad-Durarul Kaminah, Nuzhatul Albab, Ta’rifu Ahlit Taqdis, Bulughul Maram, Nukhbatul Fikr dan kitab-kitab lainnya.

Untuk kitab Fathul Bari, di sana ada keistimewaan tersendiri. Kitab ini mulai beliau tulis ketika umur 44 tahun (817 H) dan selesai dalam kurun waktu 26 tahun, yaitu ketika umur beliau telah mencapai 69 tahun (842 H).

Kitab Fathul Bari tidak hanya memuat penjelasan matan (isi) hadis, tetapi juga penjelasan tentang sanad (jalur periwayatan) hadis dan metode Imam Bukhari dalam menulis hadis, seperti susunan bab dan sebab pengulangan hadis di bab yang berbeda. Ibnu Hajar juga membela kitab Shahih Bukhari dari orang-orang yang meragukan kesahihan kitab ini di masanya.

Ulama besar asal Yaman yakni Imam Asy-Syaukani, pernah ditanya mengapa beliau tidak menulis syarah untuk kitab Shahih Bukhari seperti ulama lain? Beliau menjawab singkat:

لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ

Artinya: “Tidak perlu hijrah setelah Fath (maksudnya tidak perlu menulis keterangan lain setelah ada kitab Fath Al-Bari).”

Setelah Ibnu Hajar menyempurnakan kitab Fathul Bari, beliau mengadakan walimah besar-besaran sebagai wujud rasa kegembiraan dan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atas selesainya penulisan kitab tersebut.

Walimah ini bertempat di luar Kairo, antara Kum Ar-Risy dan Minyah Syerig (daerah antara Kairo dan Syubro sekarang). Di Walimah ini beliau mengundang semua alim ulama, para pembesar dan penguasa, para cendekiawan, masyarakat Mesir dan lain sebagainya yang tidak bisa disebutkan berapa banyak yang datang kala itu.

Wafatnya Sang Imam

Tepatnya pada malam Sabtu, 18 Dzulhijjah 852 H, selepas menjalankan ibadah sholat isya, beliau bersama keluarganya dan beberapa orang yang hadir membaca surat Yasin bersama-sama, hingga sampai pada ayat “salamun qaulan min rabbirahim” akhirnya beliau menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali. Beliau disholatkan esok harinya sebelum sholat dzuhur yang diimami langsung oleh Sang Sultan.

Sang Imam dimakamkan di Qarafah Shughra di belakang Masjid Imam Syafii dan sebelum makam Uqbah bin Amir Al-Juhani sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah selesai dimakamkan, para pelayat membaca doa dan dzikir bersama-sama, mengkhatamkan Al-Quran dan lain-lain. Hal tersebut terus dilakukan selama seminggu dengan berkali-kali khataman tanpa bisa dihitung sudah berapa khataman. Bahkan Imam Jalaluddin Al-Mahalli memanggil masyarakat berkumpul ke rumahnya untuk khataman Al-Quran dan menghadiahkannya khusus kepada almarhum.

Demikian biografi singkat sang amirul mukminin dalam ilmu hadist. Dengan mengetahui biografinya, semoga kita semakin semangat untuk selalu belajar, sebagaimana Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, aamiin.

Wallohu A’lam
Oleh Aryan Andika

Editor: Dewi Anggraeni, S.Hum

Aktivis dakwah, jurnalis, interpersonal skill, tim work, content creator, dan emotional management.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator