Biografi Kiai Haji Syamsul Mu’in Kholid, Pendiri Pondok Pesantren Darul Amien Banyuwangi
TSIRWAH INDONESIAÂ – Salah satu ulama termasyhur di Banyuwangi ini, dikenal sebagai sosok orang yang Arif dan suka dengan kesederhanaan. Beliau adalah Kiai Haji Syamsul Mu’in Kholid, pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Darul Amien yang berdiri di desa Gembolo, Gambiran, Banyuwangi.Â
Dalam merintis berdirinya pesantren, beliau menjadikan kitab Ihya Ulumuddin sebagai dasar utama pembelajaran serta berpindah-pindah tempat dalam proses penyebaran ilmunya.
Garis Keturunan
Kiai Haji Syamsul Mu’in Kholid memiliki nama asli Abdul Mu’in. Ia lahir di desa Glowong, Yosomulyo, Banyuwangi, 13 Juni 1931 Masehi. Kiai Haji Mu’in merupakan putra ke enam dari pasangan suami-isteri kiai Abdul Jalil dan Nyai Ngadinem.
Kiai Jalil bukanlah penduduk asli di Banyuwangi, melainkan perantau dari Kediri selepas pernikahannya dengan Nyai ngadinem. Kiai Jalil termasuk tokoh masyarakat yang disegani oleh warga sekitar. Beliau berprofesi sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, walaupun hidup sederhana, keluarga kecil tersebut hidup bahagia.
Pendidikan kiai Haji Mu’in dikala itu berguru langsung kepada sang ayah. Namun, kebersamaan anak-ayah tersebut tidak berlangsung lama, pada saat beliau berumur 8 tahun ayahnya berpulang ke Rahmatullah, kemudian Kiai Haji Mu’in diasuh oleh Mbah Abdul Syarif asal Sambirejo.Â
Latar Belakang Pendidikan Kiai Haji Syamsul mu’in KholidÂ
Ketabahan dan kegigihan Kiai Haji Mu’in dalam menuntut ilmu sangat jelas terlihat sedari beliau masih kecil, begitupun cinta dan tekad beliau dalam mendalami ilmu agama.
Pendidikan beliau dilanjut kala dalam asuhan Mbah Abdul Syarif dengan bersekolah di tingkat Raudhatul Athfal (RA) atau setara dengan taman kanak-kanak (TK), kemudian setelah lulus dari Raudhatul Athfal beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, di bawah asuhan Kiai Haji Muchtar Syafaat Abdul Ghofur.
Sejak itulah Beliau mengabdi serta berguru pada Kiai Haji Syafaat. Tidak dipungkiri juga Kiai Haji Mu’in merupakan santri kepercayaan (tangan kanan) sekaligus santri pertama Kiai Haji Syafaat. Beliau seringkali diamanahi untuk mengumandangkan adzan dan mengasuh putra pertamanya yaitu Gus Hisyam Syafaat. Kegigihan Kiai Haji dalam menuntut ilmu ialah beliau bertekad tidak akan pulang sebelum khatam Ihya’ Ulumuddin.
Pada tahun 1953 Masehi, Kiai Haji Mu’in mempersunting seorang perempuan di tengah perjalanannya menuntut ilmu, beliau bernama Rofi’atul Barirah asal desa Mojosari, Tegalsari. Setelah kitab Ihya Ulumuddin selesai, beliau memutuskan keluar dari pesantren (boyong) bersama istrinya dan tinggal di kediaman mertuanya, Mojosari.
Perjalanan DakwahÂ
Setelah dirasa cukup lama tinggal di Mojosari dan momentum penyebaran agama disana kurang mendukung, Kiai Mu’in beserta keluarga kecilnya memutuskan berpindah tempat tinggal ke desa Kalongan, Gambiran. Tidak cukup disitu saja, Kiai Haji Mu’in mulai berpindah-pindah tempat dari tahun ke tahun dalam upaya penyebaran agama dan tentunya ada beberapa alasan lainnya. Beliau berpindah lagi dari desa kalongan ke desa Sambirejo dan berpindah lagi ke desa Mojosari tempat persinggahan mertuanya.
Kali ini keberadaan Kiai Haji Mu’in di desa Mojosari terdengar oleh santri Kiai Khasan dusun Gembolo, kecamatan Purwodadi. Santri Kiai Khasan meminta beliau untuk tinggal di Gembolo dan memakmurkan kembali masjid serta pesantren Kiai Khasan yang memang telah vakum beberapa tahun silam sebab tidak ada penerus pesantren setelah Kiai Khasan wafat.
Berdirinya Pondok Pesantren Darul AmienÂ
Pada tanggal 6 maret 1964 Kiai Haji Mu’in mulai merintis pesantrennya dengan mendatangkan dua puluh santri asal Semarang. Sesuai dengan apa yang dipelajarinya, beliau mengikuti jejak sang guru dengan mengajarkan kepada para santri kitab Ihya Ulumuddin sebagai dasar pembelajaran.
Tahun demi tahun berlalu, tepat pada tahun 1992 santri Kiai Haji Mu’in meningkat pesat, terdiri dari 109 santri mukim putra, 226 santri mukim putri, 21 santri pendatang putra dan 26 santri pendatang putri. Seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya jumlah santri, beliau kekurangan alat serta kitab-kitab yang akan dipelajari, sehingga beliau mengajukan proposal bantuan kepada Bapak H. A. Ghani Al Haj asal Bandung.
Tidak berselang lama dari itu, pada tahun 1997-1998 jumlah santri kian menyusut, dikarenakan terjadi krisis moneter.
Sejarah Berdirinya Dzikrus Syafa’ah
Awal-awalnya Kiai Haji Mu’in sudah mendirikan istighosah untuk kegiatan umum (santri maupun masyarakat), yaitu istighosah ihsaniah. Ketika istighosah makin berkembang hingga mencapai 30.000 anggota Kiai Haji Mu’in lepas tangan karena sudah ada panitia yang mengurus istighosah tersebut.
Satu tahun tidak ada kegiatan, beliau berinisiatif untuk mendirikan istighosah lagi, kemudian beliau bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala lalu mendapat ilham dengan kedatangan Almarhum Kiai Haji Muchtar Syafaat Abdul Ghofur yang memberi sebuah kertas berisikan amalan-amalan dan dzikir-dzikir, kemudian beliau tulis dan dibukukan pada hari Jum’at pon tanggal 20 safar 1426 hijriah atau 1 April 2005.
Sebagai bentuk ta’dzim Kiai Mu’in terhadap Kiai beliau yaitu Kiai Haji Syafaat maka istighosah ini dinamakan istighosah dzikrus syafa’ah. Setelah kewafatan Kiai Mu’in istighosah dzikrus syafa’ah diserahkan ke Kiai Hasyim yang tidak lain adalah putra dari Kiai Haji Syafaat, dan berkembang hingga saat ini dengan anggota sekitar 50.000 orang.
Wafatnya Kiai Haji Syamsul Mu’in dan Berdirinya Sekolah FormalÂ
Setelah terjadi penyusutan santri dari tahun ke tahun hingga hampir saja mati, di tahun 2010 Kiai Haji Mu’in berencana menghidupkan kembali pesantren tersebut dengan membangun sekolah formal, pada akhirnya berdirilah satu sekolah formal pertama yaitu Madrasah Tsanawiyah Darul Amien.
Tepat pada hari Kamis, 24 Maret 2011, beliau dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala, kembali ke Rahmatullah. Beliau wafat meninggalkan satu istri, enam putra dan dua putri. Kini pondok pesantren Darul Amien diteruskan dan diasuh oleh Kiai Haji Damanhuri Sirajuddin yang tidak lain putra pertama beliau.
Perkembangan sekolah formal Darul Amien tidak berhenti di tingkat Madrasah Tsanawiyah saja, di bawah asuhan putra pertama beliau, Darul Amien mulai banyak melakukan berbagai pembangunan sekolah formal. Dari pendidikan anak usia dini (PAUD), Taman kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Kejuruan dan Madrasah Aliyah Darul Amien. Sedangkan pendidikan non formal, saat ini berkembang dengan adanya program tahfidz.
Itulah biografi singkat Kiai Haji Syamsul Mu’in Kholid, dari biografi beliau ini mengajarkan kepada kita untuk haus akan ilmu agama maupun non agama, dan tentunya dengan adanya guru yang dijadikan panutan serta ta’dzim kepada gurulah kunci utama dalam menuntut ilmu. Semoga kita semua bisa mencontoh dan meneladani beliau, aamiin.
Wallahu Alam
Oleh Ustadzah Siti Chikmatul Hani’ah