Hikmah & Wawasan

Inilah 6 Kondisi yang Diperbolehkan untuk Gibah, Simak

TSIRWAH INDONESIA – Salah satu dosa yang seringkali seseorang lupa untuk meninggalkannya adalah gibah. Padahal, secara tidak sadar, gibah adalah salah satu hal yang sering dilakukan ketika sedang berkomunikasi dengan orang lain.

Mengutip dari muhammadiyah.or.id, gibah bisa bermakna sama dengan menggunjing. Gibah adalah membicarakan keburukan atau kejelekan orang lain ketika orang tersebut tidak hadir di sekitarnya. Sesuatu keburukan atau kejelekan tersebut bisa jadi benar, namun orang tersebut tidak menyukainya.

Hal di atas sesuai dengan yang tertera dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Artinya: “‘Tahukah kamu, apakah gibah itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Gibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggibahinya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya’,” (HR Muslim).

Gibah adalah salah satu hal yang terlarang dalam Islam dan termasuk dosa besar. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala juga memberi perumpamaan dari perubatan ini dengan memakan bangkai saudaranya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 12:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.

BACA JUGA: 4 Cara Menghindari Ghibah, Agar Terhindar dari Dosa

Pada dasarnya, gibah adalah salah satu perbuatan tercela yang wajib dijauhi. Akan tetapi dalam beberapa kondisi, kita boleh melakukan gibah untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Mengutip dari nu.or.id, Imam An-Nawawi menyebutkan enam kondisi itu sebagai berikut:

Dalam rangka ingin mengadili seseorang yang bersalah, seseorang boleh menceritakan pengalamannya dalam melakukan kejahatan kepada korban. Misalnya, seseorang boleh menceritakan penganiaya yang memperlakukannya secara zalim.

Dalam rangka berniat untuk mengubah kemungkaran yang terjadi di muka bumi, seseorang dapat melaporkan suatu pelanggaran hukum, seperti mencuri, penganiayaan, pemerkosaan, dan lain-lain, kepada aparat kepolisian atau pihak lain yang berwenang.

Dalam rangka untuk membantu seorang ulama (mufti) untuk mengeluarkan fatwa sesuai dengan kondisi seseorang, seseorang dapat menceritakan masalahnya untuk memberikan gambaran yang jelas terkait persoalannya antara dia dengan para ulama. Tetapi, jika tidak membutuhkan penyebutan nama secara personal, lebih direkomendasikan untuk tidak melakukan gibah dalam kondisi ini.

Umat islam dapat menyebarluaskan personal atau institusi yang melakukan kejahatan dalam rangka untuk mengingatkan publik agar terhindar dari kejahatan yang serupa. Hal ini dilakukan misalnya oleh para ahli hadits berkaitan dengan perawi bermasalah ataupun berkaitan dengan travel haji dan umrah bermasalah di masa sekarang.

Hal ini biasanya sering terjadi di dunia maya. Dalam kondisi suatu oknum atau institusi melakukan kejahatan secara terang-terangan, misalnya menarik upeti, mengambil harta dengan cara korupsi, mengambil kebijakan-kebijakan batil, dan lain-lain, kita boleh menggibahkan pihak tersebut sesuai dengan kejahatan yang ia tunjukkan.

Berhati-hatilah dengan kondisi ini, karena salah ucapan dan tindakan, niatnya bisa berubah ke arah merendahkan seseorang. Cara untuk menghilangkan kesan merendahkan yaitu baiknya sebutan tersebut didahului kata “maaf”.

Jadi, gibah itu menjadi boleh demi kepentingan umum, kepentingan hukum, ataupun maslahat sesuai syar’i, seperti kondisi pada paparan di atas. Semoga bermanfaat, aamiin.

Wallohu A’lam
Oleh Salsabiela Milenia Putri

Editor: Dewi Anggraeni, S.Hum

Aktivis dakwah, jurnalis, interpersonal skill, tim work, content creator, dan emotional management.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator