Mengajar Demi Gaji: Menjaga Keikhlasan dalam Setiap Langkah
TSIRWAH INDONESIA – Pandangan mengenai gaji atau tunjangan guru sering menjadi perdebatan. Terkadang, hasil berupa materi dari upaya mereka mencerdaskan generasi dianggap tidak tulus. Ini mirip dengan orang yang berjuang untuk agama demi imbalan.
Sejatinya, niat segala bentuk ibadah tetap harus karena Allah subhanahu wa ta’ala. Jika terdapat iming-iming berupa materi duniawi, dan kita menginginkannya, melansir dari islam.nu.or.id, berikut penjelasannya:
Pengaruh Keikhlasan dalam Mengajarkan Ilmu
Merujuk masalah amal kebaikan yang bercampur dengan motif-motif duniawi, seperti riya’ (pamer), gaji mengajar, dan semisalnya, para ulama’ memiliki pendapat yang berbeda, yakni:
1. Amal kebaikan yang bercampur dengan motif duniawi tetap dapat mendatangkan pahala akhirat.
2. Amal seperti itu justru mendatangkan siksa neraka.
3. Tidak mendatangkan pahala dan juga tidak mendatangkan siksa.
4. Asal motif atau pemicu pertama amal kebaikan itu adalah ikhlas karena Allah SWT, maka motif-motif duniawi yang datang setelahnya, tidak berpengaruh sama sekali.
Dengan kata lain, asal motif utama amal kebaikan tersebut adalah keikhlasan karena Allah SWT, maka amal tersebut tetap bernilai amal yang ikhlas dan mendatangkan pahala.
Berikut penjelasan dalam kitab Jami’ Al-Bayan fii Tafsir Al-Qur’an karya Imam At-Thabari:
إذاً كَانَ أَصْلُ الْبَاعِثِ هُوَ الْأَوَّلُ لَا يَضُرُّهُ مَا عَرْضٍ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ
Artinya: “Jika pemicu utama jihad fi sabilillah adalah yang pertama, yaitu untuk meninggikan dakwah agama Islam, maka motif-motif duniawi yang datang setelahnya tidak berpengaruh.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, menambahkan juga, yang pada intinya, hal seperti ini menjadi pendapat jumhur atau mayoritas ulama’. Pendapat ini juga seiring dengan sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, terhadap sahabatnya yang melakukan amal kebaikan dan kemudian membanggakannya:
إِنِّي أَعْمَلُ عَمَلًا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ فَيُعْجِبُنِي، قَالَ: لَكَ أَجْرَانِ: أَجْرُ السِّرِّ وَأَجْرُ العَلَانِيَةِ.
Artinya: “’Sungguh aku melakukan suatu amal kebaikan yang dilihat oleh orang lain, lalu hal itu membuatku bangga,’ beliau (Nabi Muhammad SAW) mengatakan: ‘Kamu dapat dua pahala. Pahala merahasiakan amal kebaikan, dan pahala menampakkannya’,” (HR At-Thabrani).
Pendapat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani pada kitab Nashaihul ‘Ibad, bahwa beribadah dengan harapan untuk memperbaiki kehidupan duniawinya merupakan bentuk ikhlas yang paling rendah.
Adapun pendapat dari Imam Al-Ghazali pada kitab Hasyiyah Al Qolyubi, jika niat akhiratnya lebih dominan, maka itu masih tergolong ikhlas. Akan tetapi, jika niat duniawinya yang lebih dominan, maka bukanlah ikhlas.
BACA JUGA : Ikhlas dalam Perspektif Hadits: Kunci Sukses dalam Beramal
Kesimpulan
Merujuk pada pendapat Imam At-Thabari dan mayoritas ulama’, bahwa yang terpenting bagi guru adalah menata niat untuk tujuan utama aktivitas mengajarnya adalah karena Allah SWT. Adapun terkait gaji, tunjangan, dan bonus-bonus lainnya, maka itu adalah the second goal, tujuan kedua.
Maka, jangan sampai seseorang lebih memprioritaskan tujuan duniawinya dan menyampingkan ridho Allah SWT. Karena itulah faktor yang menghilangkan pahala keikhlasan dalam berdakwah.
Wallahu A’lam
Oleh Syafik Islahul Umam