Mengenal Lebih Dekat Bint’ al-Shati’ Mufasir Perempuan Kontemporer, Simak
TSIRWAH INDONESIA – Bint’ al-Shati’ merupakan nama pena seorang mufasir perempuan asal Mesir. Mengutip laman suaraaisiyah.id, Bint’ al-Shati’ memiliki nama asli Aisyah Abdul Rahman.
Bint’ al-Shati’ sebagai nama pena kerap digunakan Aisyah di tulisan-tulisannya. Mengutip laman wikipedia.org, nama Bint’ al-Shati’ bermakna anak tepian (sungai). Nama ini terinspirasi dari tempat kelahirannya.
Ia dilahirkan pada 6 November 1913 Masehi di kota Dimyat, sebelah barat Delta sungai Nil. Bint’ al Shati’ merupakan putri dari pasangan Muhammad Ali Abdul Rahman dan Faridah Abdussalam Muntasir.
Dilahirkan dari keluarga yang taat beragama, Bint’ al-Shati’ telah diajarkan banyak ilmu keagamaan sedari kecil. Saat berusia enam tahun, ia telah menghafal Alquran sebanyak lima belas juz.
Melalui lingkungan ini, Bint’ al-Shati’ juga mendapat cobaan berupa sulitnya menempuh pendidikan formal, lebih-lebih sampai ke jenjang doktor.
Meski cobaan melanda, tidak lantas membuat Bint’ al-Shati’ patah semangat belajar. Mengutip laman pecihitam.com, ia mendapat dukungan melanjutkan sekolah formal dari ibu dan kakeknya yang bernama Syekh Ibrahim Damhuji.
Pada tahun 1939 M, Bint’ al-Shati’ menamatkan pendidikan sarjananya di Universitas Fuad Satu di Kairo dengan konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab. Ia juga menamatkan pendidikan magister di universitas yang sama.
Sembilan tahun selanjutnya, tepatnya pada 1950 M, Bint’ al-Shati’ mengukuhkan gelar Doktor sebagai seorang ahli di bidang Bahasa dan Sastra Arab masih di universitas yang sama.
Selain seorang akademisi, Bint’ al-Shati’ juga merupakan seorang penulis. Fatimah dalam artikel yang berjudul ‘Aisha ‘Abd al-Rahman Bint al-Shati’: Mufasir WanitaZaman Kontemporer, menuliskan bahwa Bint’ al-Shati’ memulai karier menulisnya di beberapa media besar di Mesir.
Media-media tersebut antara lain: Al-Balagh, Kawakib, dan Al-Hilal. Topik pembahasan yang menjadi konsentrasinya meliputi isu-isu sosial, ekonomi, serta refleksi atas apa yang ia alami di tengah-tengah masyarakat.
BACA JUGA: Mengenal lebih dekat Sayyidatina Fatimah Az-Zahra: Penghulu Wanita Surga
Bint’ al-Shati’ sebagai Seorang Mufasir
Sesuai dengan fokus kajian yang ia tekuni, Bint al-Shati’ menafsirkan Alquran dengan pendekatan kritik sastra. Karya tafsir terbesar yang pernah ia tulis berjudul Manahij al-Tajdid fi al-Naḥw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab.
Beberapa kitab yang ia tulis di bidang Alquran dan Tafsir lainnya antara lain: At-Tafsiru Al-Bayan li Quran Al-Karim, Maqal fi Al-Insan, Kitabuna Akbar, dan Dirasah Quraniyah.
Sebagai seorang mufasir, Bint’ al-Shati’ banyak memberikan kritikan kepada model penafsiran saintifik yang kala itu populer di Mesir.
Mengutip laman muslimmatters.org, Bint’ al-Shati’ menjelaskan bahwa pembacaan saintifik terhadap Alquran merupakan bentuk pemaksaan ideologi yang menyimpang dari pesan Alquran itu sendiri.
Selain itu, pembacaan saintifik juga menafikan kemukjizatan Alquran, yaitu berupa teks yang mengandung sastra tinggi. Tingginya kesusastraan Alquran ini tidak dapat ditiru oleh siapa pun sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Isra’ ayat 88, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا
Artinya: “Katakanlah, ‘Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Alquran ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya’.”
Maka dari itu, dalam penafsirannya ia menerapkan empat prinsip yaitu: pertama, ayat Alquran menafsirkan ayat lainnya. Kedua, munasabah antara ayat atau kata dalam Alquran yang di dekatnya.
Ketiga, dalam menentukan masalah, pertimbangan yang digunakan adalah berupa keumunan lafaz bukan kekhususan sebab. Keempat, tidak mengenal adanya sinonim. Tiap kata yang serupa secara makna di dalam Alquran pada hakikatnya memiliki makna yang berbeda.
Demikian sedikit biografi Aisyah Abdul Rahman atau yang akrab disapa Bint’ al-Shati’. Keterbatasan lingkungan dan dukungan akan belajar tidak membuatnya berhenti semangat untuk menjadi mufasir.
Wallohu A’lam
Oleh Ustadz Muhammad Wildan Saiful Amri Wibowo