Tokoh & Sejarah

Mengenal Muhammad As’ad Al-Bugisi: Mahaguru Tanah Bugis

TSIRWAH INDONESIA – Ajaran Islam di Nusantara tentu tidak terlepas dari peran ulama. Khususnya di Sulawesi Selatan memiliki banyak ulama yang pernah mengabdi dalam menyiarkan agama Islam.

Di antara tokoh penting dalam sejarah penyebaran dan pengajaran Islam (mahaguru) di tanah Bugis adalah Muhammad As’ad Al-Bugisi.

Beliau adalah ulama yang paling berpengaruh pada pertengahan abad ke-20. Bahkan dirinya menjadi tokoh sentral induk jaringan intelektual pada saat itu.

Nama lengkapnya adalah Muhammad As’ad bin Abdur Rasyid. Beliau adalah seorang putra Bugis yang lahir di Makkah pada tanggal 9 Maret 1908 Masehi.

Ayahnya bernama Kiai Haji Abdur Rasyid bin Abdul Fattah bin Abdullah, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah, dan Ibunya Siti Saleha binti Abdur Rahman yang bergelar Guru Terru. 

Dengan melihat dari nasab beliau, sudah menunjukkan bahwa Muhammad As’ad genealogisnya berdarah ulama.

Sejak kecil,  Muhammad As’ad dididik langsung oleh kedua orang tuanya. Mulai dengan pendidikan keislaman, akhlak, dan tata cara berperilaku yang beradab, juga benar. 

Dengan kesungguhan dan kegigihan Muhammad As’ad kecil dalam belajar, saat usianya masih tergolong muda telah menghafalkan beberapa kitab matan, seperti  Safinah al-Najah, Zubdatul Aqaid, Matn Jurumiyah, Ilmu SharafSyarah Dahlan, dan Alfiyah ibnu malik.

Beliau telah menghabiskan masa mudanya di Masjidil Haram untuk menimba ilmu kepada ulama. Beberapa pengajian yang ia ikuti dari ulama berbagai negara, seperti Syaikh Umar bin Hamdan, Syaikh Sa’id al-Yamani, dan Syaikh Hasan bin Sa’id al- Yamani.

Selain belajar informal, beliau juga belajar secara formal di Madrasah Al-Falah. Di lembaga inilah Muhammad As’ad mendapatkan ilmu pengetahuan umum dan teknologi, seperti ilmu bumi, ilmu hayat, ilmu alam, ilmu kimia, dan lain sebagainya.

Daud Ismail dalam bukunya yang berjudul Al-Ta’rif bi al-Alim al-Allamah al-Haj Muhammad As’ad Al-Bugisy halaman 3 menyebutkan, bahwa intensitas Muhammad As’ad dalam menekuni ilmu sangatlah antusias, sebagaimana berikut ini:

و كان لا ينام فى اليل الا ساعتين، ولا يترك صلاة التهجد كل ليلة، وكان يتلقى من العلوم فى اليوم و اليلة اربعة عشر درسا

Artinya: “Dan ada Muhammad As’ad tidak tidur pada malam hari kecuali dua jam saja, dan beliau juga tidak pernah meninggalkan sholat tahajud setiap malam, serta beliau mendapatkan (belajar) dari macam-macam ilmu pada siang dan malam sebanyak empat belas pelajaran.”

Berkat keshalehan dan ketekunannya, Muhammad As’ad telah menghafal Al-Qur’an 30 juz pada usia 14 tahun.  Hal ini tentunya tidak terlepas dari didikan dan binaan orang tuanya.

Menurut muridnya Hamzah Manguluang dalam bukunya yang berjudul Riwayatku dan Riwayat Guru Besar KH. Muhammad As’ad, menyebutkan bahwa pada saat berusia 14 tahun Muhammad As’ad telah mendapatkan pengakuan ulama atas kefasihannya dalam membaca Al-Qur’an.

Maka tidak heran pada saat itu Muhammad As’ad telah diberikan tanggung jawab menjadi imam sholat tarawih di Masjidil Haram selama tiga tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 1921 M sampai 1923 M.

Tidak berhenti di situ, saat berusia 20 tahun As’ad melakukan lawatan ke Madinah dan belajar kepada seorang ulama besar yang bernama Sayyid Ahmad as-Syarif as-Sanusi, seorang hakim di Madinah dan pemimpin tarekat as-sanusiyah.

Karena kedalaman keilmuannya, Muhammad As’ad diberi amanah untuk menjadi sekretaris pribadinya, sekaligus mendapatkan ijazah dan diberikan izin untuk memberikan fatwa di Makkah al-Mukarramah.

Memasuki umur 21 tahun Muhammad As’ad merasa terpanggil dan memutuskan untuk kembali ke tanah leluhurnya yaitu di tanah Bugis untuk mengamalkan ilmunya.

Mengutip laman As’adiyah Pusat, bahwa langkah pertama yang dilakukan Muhammad As’ad ketika tiba di kota Sengkang, mulai mengadakan pengajian halaqah di rumah kediamannya.

Di samping itu beliau juga memberikan dakwah, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada di sekitar kota Sengkang.

Selanjutnya pada tahun 1930 M, tepatnya di usia yang ke 23 tahun, Muhammad As’ad membuka sistem pendidikan formal dalam bentuk madrasah, yang diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). 

Dengan dukungan dan bantuan pemerintah, bersama tokoh agama dan masyarakat, Muhammad As’ad kemudian mendirikan bangunan madrasah tersebut secara permanen.

Melalui lembaga pendidikan inilah Muhammad As’ad banyak melahirkan generasi ulama yang berkaliber dan berkiprah untuk bangsa dan negara.

Setelah lama berdakwah lewat pendidikan, tepatnya di usianya yang ke 45 tahun, Muhammad As’ad akhirnya dipanggil di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala pada tahun 1952 M.

Berkat jasa-jasa beliau terhadap negara dan bangsa, Ibu Presiden Megawati Soekarno Putri menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada Muhammad As’ad Al-Bugisi.

Tepatnya pada tanggal 13 Agustus 1999 M, berdasarkan undang-undang nomor 6 Tahun 1959, dan Keppres Republik Indonesia nomor 076/TK/Tahun 1999 M.

Demikianlah biografi Muhammad As’ad yaitu seorang mahaguru di tanah Bugis, yang memiliki banyak peran penting untuk masyarakat, negara, bangsa, dan agama.

Wallohu A’lam
Oleh Muhammad Agus

Editor: Dewi Anggraeni, S.Hum

Aktivis dakwah, jurnalis, interpersonal skill, tim work, content creator, dan emotional management.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator