3 Ulama Jawa dan Karya Tafsir Mereka: Kisah yang Menginspirasi
TSIRWAH INDONESIA –  Kekayaan masyarakat Nusantara terkait literatur tafsir, di antaranya dapat ditemukan di tanah Jawa. Banyak ulama yang berasal dari kebudayaan ini (baik itu bahasa, tulisan, maupun kultur) dikenal alim dan produktif dalam menulis tafsir.
Oleh karena cakupan bahasan yang begitu luas, tulisan ini secara khusus mengulas tiga ulama Jawa beserta karya tafsirnya: Kiai Soleh Darat, Kiai Misbah Mustofa dan Kiai Bisri Mustofa. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan berikut:
1. Kiai Soleh Darat (Tafsir Faydur Rohman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan)
Kiai Sholeh Darat adalah seorang ulama besar yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Memiliki nama asli Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani, beliau lahir pada sekitar tahun 1820 Masehi di Dukuh Kedung Jumbleng, Desa Ngroto, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
Ayahnya, KH Umar, merupakan salah seorang ulama yang juga kepercayaan pangeran Diponegoro.
Adapun riwayat perjalanan menimba ilmunya, soleh kecil belajar di berbagai pesantren dan belajar dari ulama besar seperti Kiai Raden Haji Muhammad Sholeh bin Asnawi, KH M Syahid , Kiai Ishak Damaran, dan Kiai Abdullah Muhammad bin Hadi Baiquni.
Selepas menimba ilmu di nusantara, sebagaimana kutipan dari jateng.nu.or.id, Beliau belajar di Makkah untuk memperdalam ilmunya dan berguru pada beberapa ulama terkenal, termasuk Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Syekh Umar Al Sami, Syekh Jamal, dan Syekh Muhammad Al Mishri Al Makki.
Sepulang dari tanah haram, beliau pulang ke Indonesia sebagai ulama besar yang produktif dalam menulis kitab dan berhasil melahirkan banyak ulama dan tokoh besar: KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan Raden Ajeng Kartini.
Kiai Sholeh Darat menulis banyak kitab yang membahas ajaran tasawuf dan terjemahan dari kitab-kitab klasik dalam bahasa Jawa dengan tulisan pegon.
Beberapa kitabnya yang terkenal antara lain Munjiyat Methik Saking Ihya Ulumiddin, Matn Al-Hikmah, Majmu’at al-Shari’at al-Kafyat Fi al-Awam, Lataif al-Thaharah wa Asrar al-Salah Fi Kaifiyat salat al-‘Abidin wa al-‘Arifin, Faid Ar-Rahman, Sabilu al-‘Abid, Tarjamah Al-Hikam, dan Syarah al-Burdah.
Sekian banyak kitab ia tulis, satu monumen terbesar yang ia buat adalah kitab tafsir yang berjudul Faydur Rohman  fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan. Menurut tafsiralquran.id, kitab tafsir ini bermula pada tahun 1880-an, dan merupakan kitab tafsir Al-Qur’an dengan pengunaan aksara pegon.
Mulanya, beliau enggan mempublikasi kitab tafsir ini karena kitab tersebut belum tuntas. Namun pada akhirnya kitab ini tidak kunjung usai sampai akhir hayatnya. Meski demikian, kitab ini tetap dicetak dalam dua jilid.
Cetakan jilid pertama pada tahun 1893 (Al-Baqarah hingga An-Nisa) dan jilid kedua (Ali-Imran hingga An-Nisa) pada tahun 1894. Tafsir ini dicetak pada percetakan Haji Muhammad Amin di Singapura pada tahun 1893 dan 1895.
2. Kiai Misbah Mustofa (Tafsir Al-Iklil fi Ma’ani Tanzil)
Menurut jlka.kemenag.go.id, Kiai Misbah Mustofa, juga terkenal sebagai Mbah Misbah, adalah seorang ulama yang berasal dari Pondok Pesantren Al-Balagh di Bangilan, Tuban, Jawa Timur. Ia lahir pada 5 Mei 1919 di Kampung Sawahan, Palen, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Adapun 18 April 1994 menjadi waktu tutup usia beliau. Kala itu ia menginjak usia 78 tahun.
Kiai Misbah adalah putra dari Haji Zainul Mustofa, seorang penyokong dakwah dan pengusaha kain batik, dan Hajah Khadijah. Ia merupakan saudara dari KH Bisri Mustofa, yang juga ayah dari Gus Mus.
 Kiai Misbah terkenal sebagai penulis dan penerjemah kitab-kitab klasik, terutama dalam bidang tafsir dan hadis. Ia sangat produktif dalam menulis dan menerjemahkan buku-buku keagamaan, dengan mampu menulis dan menerjemahkan lebih dari 200 karya semasa hidupnya.
Pada bidang fikih, misalnya, ia menghasilkan karya-karya seperti Taqrib, Al-Muhadzab, Aqimus Sholah, dan Safinatun Najah. Dalam bidang ilmu gramatika Arab, ia menulis Alfiyah Kubro, Jurumiyyah, Sulam al-Nahwi, Nazhom Maqsud, serta Isroful Ibad.
Selain menulis, Kiai Misbah juga aktif memberikan ceramah keagamaan di berbagai tempat. Ia berusaha menjaga keikhlasannya dalam menulis dengan tidak memikirkan royalti, tetapi lebih fokus pada menyebarkan ilmu melalui tulisan.
Karya monumentalnya di bidang tafsir berjudul Tafsir Al-Iklil fi Ma’ani Tanzil. Kitab tafsir ini, sebagaimana media.neliti.com, ia tulis dengan menggunakan metode tahlili (analitis) yang memperhatikan asbab an-nuzul, munasabah antar-ayat, penjelasan makna kata, serta riwayat.
Mengutip laman majalahnabawi.com, Tafsir Al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil menggunakan kombinasi antara bil ra’yi (ijtihad) dan bil ma’tsur (riwayat).
Kiai Misbah Mustafa banyak menggunakan penalaran dan periwayatan dalam penafsirannya, yang nampak dari penjelasan ayat yang rinci dan keterkaitannya dengan kejadian di sekitar.
BACA JUGA : Begini Kondisi Manusia pada Hari Kiamat di dalam Alquran, Simak Selengkapnya
3. Kiai Bisri Mustofa (Tafsir Al Ibriz)
Kiai Bisri Mustofa lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah pada tahun 1904 dan wafat pada tahun 1975. Jika melihat rentan waktu lahir dan wafatnya, beliau hidup pada tiga era: pra kemerdekaan, orde lama dan era orde baru.
Kiai Bisri Mustofa merupakan sosok yang aktif dalam pendidikan Islam, terutama di pesantren. Mengutip laman lontar.ui.ac.id, beliau adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Thalibin Rembang Jawa Tengah.
Adapun selain ulama beliau juga aktif dalam kontestasi perpolitikan di Indonesia. Secara umum, keterlibatannya di bidang politik bertujuan untuk kesejahteraan umat Islam serta pesantren.
Beberapa kitab yang ia tulis di antaranya: Al-Iksir fi Tarjamah Nazam Ilm at Tafsir, Fath al-Majid fi Syarh Ihya’ Ulumiddin, Al-Azwad al Mustafawiyah fi Tarjamah al Arba’in an Nawawiyah, Tarikhul Auliya’, Ngudi Susilo, dan Tafsir Al-Ibriz.
Al-Ibriz merupakan karya terbesar beliau di bidang tafsir. Tidak ada tanggal pasti kapan beliau menulis karya ini, namun tafsir ini terselesaikan pada 29 Rajab 1379 H (28 Januari 1960 M).
Kitab ini memiliki sistematika tartib surah yang berawal dari surah Al-Fatihah hingga surah An-Nas. Penafsiran ayat ada di bagian tepi redaksi surah dan menggunakan aksara pegon. Kiai Bisri juga menuliskan terjemah per kata dari tiap ayat yang ia tulis.
Keunggulan kitab ini ada di bahasa yang digunakan. Dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa penafsiran, akan lebih memudahkan audiensi dalam memahami makna Al-Qur’an yang mana merupakan masyarakat jawa pedesaan.
Demikian tiga ulama Jawa yang menonjol dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Kiai Soleh Darat, Kiai Misbah Mustofa, dan Kiai Bisri Mustofa. Mereka menulis karya-karya monumental yang tidak hanya menguraikan Al-Qur’an tetapi juga menggabungkan dengan kearifan lokal.
Wallohu A’lam
Oleh Ustadz Muhammad Wildan Saiful Amri Wibowo