Nafkah Anak: Memahami Tanggung Jawab Seorang Ayah, Simak
TSIRWAH INDONESIA – Perbincangan tentang seorang ayah yang tidak mau menafkahi anaknya pasca bercerai, sempat menjadi sorotan di berbagai platform media sosial seperti Twitter, Instagram, dan laman berita online lainnya. Jika ditelisik dari berbagai sisi, tindakan tersebut memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
Ayah merupakan sosok penting dalam pemenuhan nafkah anak. Tanggung jawab tersebut tidak akan lepas darinya sekalipun ia telah bercerai dari ibu anak-anaknya.
Menurut hukum positif, ayah yang tidak mau menafkahi anaknya bisa mendapatkan sanksi pidana berupa penjara dan denda. Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberian nafkah kepada anak pasca perceraian, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 41 huruf (d) menyebutkan, bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan, dan nafkah kepada anak pasca perceraian.
Sementara menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, juga mengatur mengenai penentuan nafkah selama berlangsungnya gugatan perceraian, dan seorang ayah yang tidak memberi nafkah kepada anaknya pasca perceraian dapat dituntut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tersebut.
BACA JUGA: 4 Posisi Anak dalam Alquran, Yuk Cek Posisi Masing-Masing
Tanggung Jawab Pemenuhan Nafkah Anak dalam Islam
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa seorang ayah wajib memenuhi kebutuhan anak sejak menyusui, memberi nafkah, pakaian dan keperluan-keperluannya. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Menurut pandangan Islam, mengabaikan kewajiban terhadap anak adalah perbuatan haram dan berdosa. Salah satu hak anak adalah mendapat nafkah dari ayahnya, sebagai kepala keluarga dan tulang punggung keluarga. Rasulullah saw pernah bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Artinya: “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang ia tanggung,” (HR Abu Dawud dan al-Nasa’i)
Kewajiban tersebut adalah memberi dukungan finansial kepada anak, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar anak, seperti makanan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan. Pemenuhan nafkah tersebut sesuai dengan kemampuan Ayah sebagai penanggung jawab nafkah anak dan keluarga.
Allah SWT berfirman dalam Alqur’an surat At-Talaq ayat 7:
لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanyaa. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
Syarat-Syarat yang Mewajibkan Ayah Memberikan Nafkah Anak:
Syekh Wahbah Az Zuhaili memaparkan dalam kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu tiga syarat wajib menafkahi anak:
Pertama, Anak berada dalam garis kemiskinan, sementara ayahnya masih bisa bekerja dan memberi nafkah. Kewajiban memberikan nafkah pada anak tersebut jatuh kepada ayahnya. Namun, jika anak tersebut memiliki kekayaan, dia wajib menafkahi dirinya sendiri dari kekayaannya, karena dasar dari nafkah adalah adanya kebutuhan.
Kedua, Anak yang tidak mampu mencari nafkah sendiri karena masih kecil, memiliki cacat fisik atau mental, sedang menuntut ilmu, atau seorang anak perempuan, berada dalam lingkup tanggung jawab ayah untuk memberikan nafkah. Kewajiban menafkahi anak perempuan berlaku hingga ia menikah, setelah itu kewajiban ini beralih kepada suaminya.
Ketiga, Ayah dan anak tidak berbeda agama, menurut pendapat ulama Hanabilah. Mayoritas ulama selain Hanabilah berpendapat, bahwa kewajiban memberi nafkah untuk anak tidak mensyaratkan harus seagama.
Wallahu a’lam
Oleh Suningsih