4 Posisi Anak dalam Alquran, Yuk Cek Posisi Masing-Masing
TSIRWAH INDONESIA – Anak merupakan generasi awal atau keturunan pertama, yang mewakili kelanjutan garis keturunan keluarga.
Kehadiran anak dalam sebuah keluarga adalah karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang tua bertanggung jawab penuh untuk membimbing, dan mengembangkan segala bakat anak sesuai dengan kodrat dan fitrahnya.
Secara umum, anak adalah istilah yang merujuk kepada keturunan seseorang, yang belum mencapai usia dewasa, atau belum mencapai kedewasaan fisik dan psikologis. Semua manusia mengalami fase anak-anak dalam kehidupannya.
Terlepas dari defenisi di atas, hubungan orang tua dan anak tetap ada dan relevan, meskipun anak tersebut telah mencapai kemandirian dan kedewasaan. Ikatan emosional dan hubungan keluarga tetap berperan penting dalam kehidupan mereka.
Al-Qur’an menyajikan pemahaman, dan pandangan mengenai hubungan antara anak dan orang tua dalam beberapa ayat.
BACA JUGA: 5 Kedudukan Anak dalam Islam, Begini Penjelasannya
Berikut Beberapa Posisi atau Aspek dari Hubungan Anak dan Orang Tua yang Dijelaskan dalam Al-Qur’an:
Anak sebagai Penyejuk Hati
Anak yang shaleh, taat kepada Allah SWT, dan berbakti kepada kedua orang tua, serta bermanfaat bagi sesama, adalah anak yang diidamkan oleh semua orang tua di dunia. Sebagaimana yang terdapat dalam Alquran surat Al-Furqan ayat 74 sebagai berikut:
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan anaknya, Ismail ‘alaihissalam, tercatat dalam sejarah sebagai hubungan anak dan ayah yang sangat harmonis.
Nabi Ibrahim AS diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS sebagai ujian keimanan.
Isma’il kecil ridha demi menjalankan perintah Allah SWT dan baktinya kepada orang tua. Hilang sudah kegundahan hati Ibrahim AS, berganti dengan kepasrahan kepada Allah SWT.
Kisah tersebut terdapat dalam Alquran surat As-Shaffat ayat 102 sebagai berikut:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.
Anak sebagai Perhiasan Dunia
Anak dan harta benda merupakan bagian dari perhiasan dunia. Hal itu sebagaimana yang diungkap oleh Alquran surat Al-Kahfi ayat 46 berikut ini:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Anak diperlakukan, dijaga, bahkan disayangi sebaik mungkin oleh orang tua seperti perlakuan terhadap perhiasan dan kekayaan. Namun, kasih sayang yang berlebihan terhadap anak justru dapat melenakan orang tua, dan merugikan masa depan anak tercinta.
Allah SWT mengingatkan para orang tua akan hal ini dalam Alqur’an surat Al-Munafiqun ayat 9:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”
BACA JUGA: Childfree: Pilihan Pernikahan Tanpa Anak dan Kontroversinya, Simak Penjelasan Islam
Anak sebagai Fitnah atau Ujian
Anak adalah amanah atau titipan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Hak-hak anak harus dipenuhi agar memiliki masa depan yang cerah, dan dapat membahagiakan orang tuanya.
Anak merupakan anugerah dari Allah SWT dan menjadi sumber kebahagiaan, serta kebanggaan bagi kedua orang tua. Namun, anak juga dapat menjadi ujian dan fitnah dalam kehidupan seseorang. Sebagaimana yang terdapat dalam Alquran surat At-Taghabun ayat 15 sebagai berikut:
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan sisi Allah SWT pahala yang paling besar.”
Kisah Nabi Ya’qub AS bersama kedua belas putranya merupakan contoh nyata, bahwa kehadiran anak kadang kala sebagai ujian bagi orang tua.
Kecemburuan anak-anak Nabi Yakub AS terhadap saudara seayah mereka, yaitu Nabi Yusuf AS dan Bunyamin, menyebabkan Yusuf dibuang oleh saudaranya ke dalam sumur yang tidak berair.
Kesepuluh saudara itu kemudian memberi tahu ayah mereka, bahwa Yusuf telah dimangsa serigala saat mereka terpisah. Setelah mendengar cerita anak-anaknya, Nabi Yakub AS merasa sangat sedih. Ia terus menerus mendoakan keselamatan Yusuf.
وَتَوَلّٰى عَنْهُمْ وَقَالَ يٰٓاَسَفٰى عَلٰى يُوْسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنٰهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيْمٌ
Artinya: “Dia (Ya‘qub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Alangkah kasihan Yusuf,” dan kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia adalah orang yang sungguh-sungguh menahan (amarah dan kepedihan).”
Anak sebagai Musuh
Anak dapat menjadi musuh jika ia berada di pihak yang menghalang-halangi orang tuanya dari jalan Allah SWT, dan merintangi jalan ketaatan kepada-Nya. Orang tua perlu waspada agar tidak terpedaya oleh bujuk rayu anak yang menyesatkan.
Allah menjelaskan hal tersebut dalam Alquran surat At-Taghabun ayat 14 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang.”
Kisah Kan’an, anak Nabi Nuh AS merupakan bagian dari sejarah kelam hubungan anak dan ayah. Kan’an dikenal sebagai anak yang durhaka karena tidak beriman, dan menolak untuk mengikuti risalah yang dibawa ayahnya.
Naluri kasih sayang seorang ayah membuat Nabi Nuh AS berusaha keras membujuk, dan merayu anaknya agar mau naik perahu bersamanya. Allah SWT mengabadikan kisahnya dalam Alquran surat Hud ayat 42 berikut ini:
يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ
Artinya: “Kan’an anakku! Naiklah ke perahu bersama kami! Janganlah kau mati bersama-sama orang yang kafir!”
Jawaban Kan’an dalam sambungan ayat berikutnya:
قَالَ سَآوِي إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ
Artinya: “Tidak Ayah, Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah Yang Maha Penyayang.”
Begitulah kisah singkat Kan’an, anak seorang nabi yang mengingkari dakwah ayahnya sendiri. Pelajaran dari kisah ini, iman tidak bisa diwarisi, dan hidayah adalah kehendak Allah sepenuhnya.
Wallahu a’lam
Oleh Suningsih