Niat Berkurban untuk Mayit, Ulama 4 Mazhab Beberkan Hukumnya
TSIRWAH INDONESIA – Tidak terasa kita sudah memasuki hari ke delapan bulan Dzulhijjah, umat islam akan disibukkan dengan amalan sunnah yaitu kurban. Ibadah ini termasuk sunnah yang dianjurkan, namun khusus untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hukumnya wajib, sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
Artinya: “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian,” (HR Tirmidzi).
Hukum asal pelaksanaan ibadah kurban adalah sunnah muakkad yang disematkan dari pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah hukumnya wajib jika orang tersebut tidak dalam bepergian.
Menurut mazhab Syafi’i yang dimaksud sunnah muakkad ini sifatnya kifayah artinya apabila dalam satu keluarga sudah ada yang menunaikan ibadah kurban yang hewannya cukup untuk tujuh anggota keluarga seperti sapi, kerbau, atau unta maka tidak ada kewajiban kurban selanjutnya, dan kesunnahan ini dibebankan kepada orang yang sudah baligh, berakal dan mampu.
Masalah kurban ini sering kali menjadi polemik bagi masyarakat, salah satunya meniatkan kurban untuk orang yang sudah meninggal, dalam artikel ini akan dibahas hukum mengenai permasalahan tersebut yang dikupas dari sudut pandang empat mazhab, berikut penjelasannya:
Pertama, menurut pendapat ulama Hanafiyah dan Hambali sembelihan hewan kurban dengan meniatkan untuk keluarga yang sudah meninggal hukumnya boleh, dan penyembelihannya sama seperti sembelihan untuk orang hidup serta pahalanya akan sampai kepada mayit.
Berbeda halnya dengan sembelihan yang dilatar belakangi oleh wasiat, maka hukum dagingnya menurut ulama Hanafiyah wajib disedekahkan keseluruhannya, dan tidak boleh dimakan oleh yang berkurban atas namanya.
Kedua, menurut sebagian ulama Syafi’iyyah, menghukumi kurban seperti ini tidak boleh, namun diperbolehkan jika kurban atas wasiat dari mayit dan terhitung sebagai sedekah, sedangkan sebagian lainnya tidak memperbolehkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab:
(وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ
“Berkurban untuk mayit menurut Abu Hasan Al Ubbadi adalah boleh secara mutlak, sebab ini bagian dari sedekah dan sedekah untuk mayit bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mayit berdasarkan kesepakatan ulama.”
Ketiga, pendapat ulama Malikiyah hukumnya adalah makruh, dengan alasan jika si mayit sebelum meninggal tidak memberi wasiat kepada ahli warisnya.
Inilah pandangan ulama empat mazhab menjelaskan hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal, catatan penting yang perlu kita perhatikan, perbedaan pendapat itu hal biasa yang tidak perlu untuk diperselisihkan, tapi jadikanlah perbedaan itu nikmat yang harus dicintai dan dihargai. Jadi, bagi kita yang ingin berkurban untuk keluarga yang sudah meninggal diperbolehkan memilih pendapat yang menurut kita lebih sesuai.
Wallohu A’lam
Oleh Rahmiwati Abdullah