Tren Moderasi Beragama Melalui Sudut Pandang Al-Qur’an
TSIRWAH INDONESIA – Moderasi beragama dalam kalangan umat Islam sebenarnya sudah sejak dahulu dipraktikkan. Namun, belakangan ini tren moderasi beragama kembali didiskusikan. Hal ini disebabkan karena kurangnya sikap saling menghormati perbedaan dalam keyakinan.
Lalu, bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap tren moderasi beragama yang tengah digaungkan oleh para ulama saat ini. Berikut penjelasannya:
Moderasi dalam Bahasa Al-Qur’an
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) edisi 2008, moderasi diartikan sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran terhadap ekstrimisme.
Kata moderasi ini sejatinya tidak terdapat dalam Al-Qur’an secara eksplisit. Akan tetapi, ada kata yang mendekati makna moderasi ini dalam Al-Qur’an, yaitu kata wasathiyyah.
Wasathiyyah ini identik dengan ayat 143 dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : ”Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitul maqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Pada kalimat “wakadzalika ja’alnaakum ummatan wasathan” ini dijadikan sebagai dasar atas penjelasan moderasi beragama dalam pandangan Islam. Sehingga, moderasi beragama sangat melekat dengan kata wasathiyyah dalam Al-Qur’an.
Penggunaan kata wasathiyyah sebagai penjelasan moderasi dalam Al-Qur’an, ini disebabkan karena pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 143 di atas menggunakan kata wasath untuk menggambarkan ciri ummat Islam.
Maka untuk memahami lebih dalam tentang wasathiyyah (moderasi) ini. Terlebih dahulu kita melihat pandangan beberapa ulama tafsir, terkait Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 143 di atas.
Baca Juga: Intip Toleransi Beragama dalam 3 Arsitektur Dunia
Penjelasan Ulama Tafsir tentang Moderasi
Ketika membicarakan kata wasath dalam Al-Que’an surah Al-Baqarah ayat 143 ini, Ibnu Jarir Ath-Thabari yang diberi gelar sebagai Syekh Mufassirin (Guru Para Penafsir) dalam tafsirnya, Tafsir Ath-Thabari, beliau menyatakan bahwa dari segi bahasa Arab, kata tersebut bermakna “Yang Terbaik”.
Dilanjutkan oleh beliau bahwa selain bermakna “Yang Terbaik”, kata ini juga lebih dekat dengan arti “Pertengahan” yang bermakna bagian dari dua ujung.
Hal ini agar tidak menunjukkan umat Islam seperti umat Nasrani yang berlebihan dalam beribadah, hingga menjadikan Nabi Isa ‘alaihi salam sebagai Tuhan mereka.
Dan juga agar umat Islam tidak seperti kaum Yahudi yang mengubah kitab-kitab mereka, serta berani membunuh para utusan Allah subhanahu wa ta’ala yang diutus kepada mereka.
Lebih jauh lagi Imam Ath-Thabari berpendapat bahwa dari segi penakwilan ayat, kata wasath berarti adil atau dapat dipercaya.
Sayyid Qutub dalam menerangkan makna wasathiyyah (moderasi), beliau mengatakan bahwa Islam itu sendiri adalah moderasi, dalam artian semua ajaran Islam bercirikan moderasi, karena itu ummat Islam juga harus bersikap moderat.
Ia mesti moderat dalam pandangan dan keyakinannya, moderat dalam pemikiran dan perasaannya, moderat dalam keterikatan-keterikatannya.
Mantan Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Dr. Ahmad ‘Umar Hasyim dalam bukunya Wasathiyyah Al-Islam, beliau mendefinisikan wasathiyyah sebagai sebuah keseimbangan dan ketimpalan antar kedua ujung sehingga salah satunya tidak mengatasi ujung yang lainnya.
Beliau melanjutkan bahwa wasathiyyah juga tiada berlebihan tidak juga berkekurangan. Tiada pelampauan batas tidak juga pengurangan batas.
Ia mengikuti yang paling utama, paling berkualitas dan paling sempurna.
Dalam bukunya Prof. Quraish Shihab yang berjudul Wasthiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, beliau berkesimpulan terhadap berbagai pandangan ulama mengenai kata wasathiyyah ini.
Bahwa wasathiyyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi. Yang selalu harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi, berdasarkan petunjuk agama dan kondisi subjektif yang sedang dialami.
Kesimpulan
Dengan demikian, wasathiyyah tidak sekedar hanya menghidangkan dua kutup lalu memilih yang di tengahnya. Wasathiyyah adalah keseimbangan yang disertai dengan prinsip “tidak berkekurangan dan tidak juga berkelebihan”.
Pada saat yang sama ia bukanlah sikap menghindar dari situasi sulit atau lari dari tanggung jawab. Sebab, Islam mengajarkan keberpihakan kepada kebenaran tetapi dengan penuh hikmah.
Wallahu A’lam
Oleh Zatar Aulia Yarji