Muslimah

Kartini, Emansipasi, dan Perempuan di Era Disrupsi

TSIRWAH INDONESIA – Raden Adjeng Kartini atau lebih akrab disebut Raden Ayu Kartini merupakan satu dari sekian perempuan Indonesia yang berani mengambil sikap penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi terhadap hak-hak perempuan. 

Pengambilan sikap tersebut dilandasi dengan semangat sekaligus cita-cita perjuangan Kartini untuk membangun suatu gagasan emansipasi. 

BACA JUGA: Ghazwul Fikr, Perang Pemikiran yang Sangat Berbahaya bagi Umat Islam

Pada mulanya sangat jelas konsep emansipasi yang ditawarkan oleh Kartini menimbulkan kontradiksi. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya patriarki yang masih melekat dalam kehidupan bermasyarakat kala itu. 

Budaya patriarki yang masih melekat dalam budaya masyarakat feodal menjadi tantangan yang kuat bagi Kartini dalam mewujudkan emansipasi terhadap hak-hak perempuan.

Menilik dari sejarah, kita dapat mengetahui dengan jelas bagaimana bentuk diskriminasi yang ditegakkan terhadap kehidupan perempuan pra kemerdekaan. 

Perempuan dengan usia produktif masa itu dilarang untuk mengenyam pendidikan, stigma masyarakat yang begitu kuat bahwa setinggi apapun pendidikan seorang perempuan pada akhirnya akan tertuju pada ruang dapur alias menjadi ibu rumah tangga. 

Hak perempuan lambat laun bergeser bahkan terpinggirkan. Hak-hak perempuan hanya stuck pada budaya patriarki, tanpa disadari hal ini yang kemudian membuat perempuan dianggap lemah, menjadi obyek penindasan, bahkan lebih mengerikannya lagi perempuan menjadi sasaran empuk bagi kepentingan pihak tertentu.

Fenomena tersebut telah menjadi kebiasaan yang mustahil untuk dinistakan bagi sebagian penduduk pribumi, namun berbeda halnya dengan Kartini.

Dengan pemikiran yang progresif, Kartini bertekad melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan terhadap perempuan.

Goal dari segala bentuk tindakan perlawanan yang ia lakukan tidak lain agar perempuan mendapatkan hak yang sama sesuai dengan tatanan masyarakat yang ada. 

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan konsepsi hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang sama dan melekat pada dirinya. 

HAM telah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999, yang menjelaskan bahwa hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang telah melekat pada setiap individu sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang.

Ketika telah mengetahui deskripsi dari HAM, sudah seyogyanya kita saling menjunjung tinggi, menghormati, serta melindungi hak sesama manusia sebagai bentuk representasi dari warga negara yang baik.

Tanpa kita sadari realisasi dari hak perempuan juga bagian dari perjuangan Kartini dalam menggembar-gemborkan emansipasi wanita. 

Antara hak asasi manusia dengan hak perempuan seharusnya telah nyata memiliki korelasi yang kuat, namun lagi-lagi hal demikian hanya menjadi keharusan yang tidak sejalan dengan kenyataan. 

Seorang pakar sastra , Zoetmulder menyatakan penggunaan diksi perempuan dalam metatheis dan kontoid secara maknawi memiliki nilai yang tinggi dan mulia jika dibandingkan dengan padanan penggunaan diksi wanita.

Perempuan berasal dari kata mpu, empu yang memiliki makna orang yang terhormat dan mulia.

Konotasi perempuan lebih cenderung mengarah kepada emansipasi perjuangan, pembelaan hak, serta pemberdayaan potensi diri.

Penorehan diksi perempuan lebih memiliki visioner dengan maksud peka terhadap kesejahteraan rakyat.

Kita semua tengah berada di era disrupsi, sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan berskala besar yang secara fundamental telah mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. 

Dilansir melalui laman lemhannas.go.id, perubahan berskala besar ini terjadi setidaknya disebabkan oleh adanya revolusi 4.0, perubahan iklim, dan pandemi Covid-19. 

Dampak dari era disrupsi sudah terasa dengan nyata, hak asasi manusia kini tengah dizalimi dan hak perempuan hanya sebatas deskripsi.

Ada beragam pengetahuan tanpa pemahaman. Ada pemahaman yang mendalam tapi tidak dilandasi dengan kesadaran. 

Senada dengan hal tersebut, fakta dari laman kekerasan.kemenpppa.go.id menyatakan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode awal tahun 2023 tercatat sebanyak lebih dari 20.000 kasus.

Berdasarkan kasus tersebut, pelaku dapat di klaim sudah mengetahui bahkan memahami HAM dengan baik, namun mereka memiliki kesadaran yang masih jauh di bawah rata-rata sehingga apa yang mereka ketahui tidak diaplikasikan dalam kehidupannya. 

Disrupsi dapat disinyalir membawa dampak yang baik bahkan memberikan dampak yang buruk. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pelecehan terhadap perempuan menjadi salah satu pelampiasan dari beragam problem yang dihadapi selama era disrupsi.

Sementara itu, indikator terhadap korelasi antara HAM dengan Hak Perempuan menjadi sesuatu yang bersifat subyektif. Hal ini dilandasi atas kesesuaian tingkat pengetahuan, pemahaman, dan juga kesadaran yang dinilai serta dirasakan oleh masing-masing individu. 

Korelasi keduanya dapat bersifat obyektif secara garis besar, namun mayoritas skala garis ini lagi-lagi akan didominasi oleh berbagai keharusan yang justru tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.

Seperti halnya perempuan ‘harus’ berada di rumah dan tidak pulang larut malam, namun jika memang kenyataannya perempuan itu harus bekerja sif malam atau ada hal lain yang memungkinkannya untuk melakukan hal tersebut, apakah stigma bahwa perempuan yang tidak mematuhi keharusan itu dicap sebagai perempuan yang tidak/kurang baik.

Indonesia merupakan negara hukum. Apapun bentuk hak yang telah ditetapkan oleh pemerintah sudah kewajiban kita untuk mengimplementasikannya, bukan lagi sekedar keharusan yang terus-menerus menjadi wacana dan bukan lagi sekedar himbauan yang terus disepelehkan.

Hal ini senada dengan makna Qur’an surah An Nisa ayat 59 yang berbunyi:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِيۡـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيۡـعُوا الرَّسُوۡلَ وَاُولِى الۡاَمۡرِ مِنۡكُمۡ‌ۚ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan taatilah Ulil Amri diantara kamu.”

Perempuan seyogianya dihormati dan dimuliakan, bukan didzalimi dan direndahkan. Mereka juga manusia dan harus memiliki hak yang sama sebagai manusia.

Wallahu A’lam
Taschiyatul Hikmiyah

Editor: Havidz Ramdhani

Aktivis Dakwah, Penulis, Guru Agama, Hafidzul Quran, Web Developer, Graphic Designer, memiliki ketertarikan untuk mengembangkan dan memajukan dunia pendidikan pesantren sesuai relevansi zaman dan teknologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator