Sab’ah Ahruf: Al-Quran Diturunkan Dalam 7 Huruf
TSIRWAH INDONESIA – Awal istilah sab’ah ahruf ini ditemukan dalam hadis nabawi, terkait dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Alquran.
Dari sekian banyak hadis yang menyebutkan bahwa Alquran diturunkan dalam sab’ah ahruf, antara lain dalam kitab Shahih Muslim hadis dari Ibn Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alahi wassallam bersabda:
أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى حَرْفٍ، فَرَاجَعْتُهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ فَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Artinya: “Rasulullah bersabda, Jibril telah membacakan Alquran kepadaku satu huruf, maka aku minta kepadanya untuk ditinjau ulang. Selanjutnya aku juga selalu meminta kepadanya agar ditambah, sehingga ia menambahnya sampai tujuh huruf,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Makna Sab’ah Ahruf
Arti sab’ah ahruf atau tujuh huruf dalam hadis di atas mengandung banyak pendapat dari kalangan mufassir. Hal ini disebabkan karena lafaz sab’ah sendiri dan lafaz ahruf memiliki banyak makna.
Lafaz sab’ah dalam bahasa Arab dapat berarti bilangan tujuh dan bisa juga bilangan tidak terbatas.
Sedangkan kata ahruf adalah jamak dari harf yang mempunyai lebih banyak arti, antara lain salah satu dari huruf hijaiah, karakter, batas, tepi, makna, bahasa, wajah (model), dan lain sebagainya.
Perbedaan Pendapat tentang Tujuh Huruf
Al-Qurthubi di dalam mukadimah Al-Jami’ li Ahkamil Quran menyebutkan bahwa ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ahruf sab’ah ke dalam 35 pendapat.
Dari semua pendapat yang paling mendekati kebenaran menurut jumhur ulama, yaitu pendapat Abu Al-Fadhl Al-Razi. Ia mengatakan bahwa makna sab’ah ahruf adalah tujuh wajah (model), yaitu Alquran dari awal hingga akhir tidak akan keluar dari tujuh macam perbedaan sebagai berikut:
Pertama, ikhtilaf al-asma’ yaitu perbedaan kata benda seperti لِأَمَانَتِهِمۡ (tunggal) dan لِأَمَانَاتِهِمۡ (jamak).
Kedua, ikhtilaf tashrif al-af’al yaitu perbedaan bentuk fi’il madhi dan amr, seperti بَاعَدَ (madhi) dan بَاعِدْ (amr).
Ketiga, wujuh al-i’rab yaitu perbedaan dalam bentuk harakat, seperti وَأَرۡجُلَكُمۡ (fatah) dan وَأَرۡجُلِكُمۡ (kasrah).
Keempat, az-ziyadah wa an-nuqshan yaitu perbedaan dalam bentuk pengurangan dan penambahan, seperti قَالُواْ ٱتَّخَذَ (tanpa واو) dan وَقَالُواْ ٱتَّخَذَ (tambah واو).
Kelima, at-taqdim wa at-ta’khir yaitu perbedaan dalam bentuk mendahulukan dan mengemudiankan, seperti وَجَآءَتۡ سَكۡرَةُ ٱلۡمَوۡتِ بِٱلۡحَقِّ (mendahulukan ٱلۡمَوۡتِ) dan وَجَآءَتۡ سَكۡرَةُ الۡحَقِّ بِالۡمَوۡتِ (mengakhirkan الۡمَوۡتِ).
Keenam, al-qalb wa al-ibdal yaitu perbedaan dalam bentuk pergantian huruf atau kata seperti نُنْشِزُهَا (huruf زاي) dan نُنْشِرُهَا (huruf راء).
Ketujuh, ikhtilaf al-lughah yaitu perbedaan dalam bentuk dialek (lahjah), seperti bacaan imalah, idgham, tarqiq, dan tafkhim.
Sesuai dengan standar penulisan mushaf pada masa Khalifah Utsman bin Affan ada hal-hal yang harus diperhatikan. Qiraah yang bisa dihimpun dan mencakup semua cara pembacaan (qira’at) ditulis dengan satu rasm.
Kesimpulan
Ragam qiraah Alquran telah tuntas dan sempurna pada masa Rasulullah SAW, lalu beliau ajarkan kepada Sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu dari Jibril.
Alquran menjadi sempurna kemukjizatannya, jika dapat menampung berbagai dialek dan ragam variasi bacaan Alquran sehingga memudahkan untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Wallohu A’lam
Oleh Anni Kholidah Ritonga