Macam-Macam Qira’at, Hukum dan Kaidahnya
TSIRWAH INDONESIA – Klasifikasi qira’at didasarkan pada dua kategori; kuantitas jumlah perawinya dan kualitas kesahihan qira’atnya.
Qira’at adalah sunnah muttaba’ah, yaitu mengikuti orang-orang terdahulu sebelum kita dalam hal tradisi qira’at Alquran.
Dalam artikel sebelumnya telah dibahas kaidah dan kriteria suatu qira’at, yaitu: kesesuaian dengan tata bahasa Arab, sesuai dengan salah satu rasm ustmani, dan harus memiliki sanad yang mutawatir.
Berikut penjelasan tentang pembagian qira’at, hukum, dan kaidahnya.
BACA JUGA: 7 Langkah agar Anak Menjadi Penghafal Qur’an
Klasifikasi Berdasarkan Kualitas Kesahihan Qira’at
Muhammad bin Muhammad bin Al-Jazari melalui kitabnya al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr membagi qira’at berdasarkan validitas sanad menjadi dua macam:
Pertama, qira’at shahihah adalah qira’at yang sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab, sesuai dengan salah satu rasm utsmani, dan memiliki sanad yang sahih.
Misalnya qira’at sab’ah dan qira’at ‘asyrah. Qira’at jenis inilah yang sesuai dengan sab’ah ahruf dan wajib diterima keberadaannya.
Kedua, qira’at dha’ifah yaitu qira’at yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria keabsahan qira’at shahihah di atas. Misalnya dalam Quran surah Yunus ayat 92:
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلْفَكَ اٰيَةً
Qiraah Ibnu Samaifa dan Abi Samal pada lafaz nunajjika dan khalfaka ayat di atas membacanya dengan mengganti huruf jim, yakni nunajjika dengan huruf ha, sedangkan khalfaka dibaca khalafaka. Teks ayatnya menjadi:
فَالْيَوْمَ نُنَحِّيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلَفَكَ اٰيَةً
Qira’at dha’ifah ini tidak boleh dibaca dan tidak ada manfaat yang diperoleh ketika dibaca.
Klasifikasi Berdasarkan Jumlah Perawi
Sementara, menurut kitab Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an karya As-Suyuthi disebutkan bahwa qira’at dibagi berdasarkan pada jumlah perawinya, yaitu:
Pertama, mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang cukup banyak, mustahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta, dari awal sampai akhir sanad. Misalnya qira’at sab’ah dan qira’at ‘asyrah.
Kedua, masyhur adalah qira’at yang memiliki kualitas sanad yang sahih, tetapi jumlah perawinya tidak sebanyak qira’at mutawatirah. Contoh qira’at masyhurah banyak dijumpai dalam bab farsy al-huruf.
Menurut ulama, qira’at ini boleh dibaca, wajib diyakini keberadaannya, dan tidak boleh diingkari.
Ketiga, ahad yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tidak mencapai derajat masyhur dan tidak sesuai dengan rasm mushaf ustmani. Misalnya dalam Quran surah Ar-Rahman ayat 76:
مُتَّكِـِٕيْنَ عَلٰى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَّعَبْقَرِيٍّ حِسَانٍ
Qira’at yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashim al-Jahdari, dari Abu Bakrah, teks ayat menjadi:
مُتَّكِـِٕيْنَ عَلٰى رَفَارَفَ خُضْرٍ وَعَبَاقِرِيَّ حِسَانٍ
Jenis qira’at ini tidak boleh dibaca dalam shalat dan tidak wajib diyakini keberadaannya dalam Alquran.
Keempat, syadz yaitu qira’at yang tidak memiliki kualitas sanad yang sahih atau tidak memiliki tiga kriteria diterimanya suatu qira’at. Misalnya dalam Quran surah Al-Fatihah ayat 4:
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
Dibaca dengan shighat fi’il madhi pada lafaz maliki dan menfathahkan lafaz yauma. Redaksi ayat menjadi:
مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ
Kelima, maudhu’ yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh seorang perawi tanpa memiliki asal-usul yang jelas. Misalnya dalam Quran surah Fathir ayat 28:
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُا
Bacaan pada qira’at maudhu’ dengan mendhammahkan lafaz Jalalah dan menfathahkan lafaz al-‘ulama, sehingga dibaca:
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ
Keenam, mudraj adalah qira’at yang disisipkan dalam Alquran sebagai penafsiran. Misalnya qira’at Ibn Abbas pada surah Al-Baqarah ayat 198:
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ فِيْ مَوَاسِمِ الْحَجِّ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ
Kalimat في مواسم الحج adalah tafsir yang disisipkan dalam ayat tersebut.
Berbeda dengan Muhammad Ali Ash-Shabuni melalui karyanya Attibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an, disebutkan bahwa Jalaluddin Al-Bulqini hanya mengklasifikasi qira’at menjadi tiga, yaitu:
Pertama, mutawatir merupakan qira’at tujuh imam yang populer.
Kedua, ahad merupakan qira’at sepuluh ditambah dengan qira’at sahabat.
Ketiga, syadz adalah qira’at tabi’in, seperti qira’at A’masy, Yahya bin Watsab, Ibn Jubair, dan lainnya.
Klasifikasi Qira’at Berdasarkan Kuantitas Perawinya
Berdasarkan jumlah perawi dan mengacu pada validitas kesahihan qira’at, ulama membagi tiga kategori:
Pertama, qira’at sab’ disebut dengan Qira’at Tujuh Imam, yaitu Imam Nafi’, Ibn Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Ashim, Hamzah dan Al-Kisa’i.
Dari tujuh imam qira’at, masing-masing mempunyai dua rawi (periwayat atau murid). Tujuh imam qira’at ini dipopulerkan oleh Ibnu Mujahid dengan tujuan unifikasi qiraah Alquran pada masa dinasti Abbasiyah.
Kebijakan penyederhanaan menjadi tujuh qira’at harus memenuhi kaidah dan kriteria kesahihan qira’at.
Kedua, qira’at ‘asyr adalah qira’at yang diriwayatkan oleh sepuluh imam qira’at. Jumlah sepuluh imam qira’at terdiri dari qira’at sab’ ditambah tiga qira’at lain, yaitu Abu Ja’far, Ya’qub, dan Khalaf.
Ketiga, qira’at arba’ asyrah adalah qira’at yang diriwayatkan oleh empat belas imam qira’at. Mereka terdiri dari qira’at sepuluh ditambah qira’at Hasan Al-Bashri, Ibn Muhaish, Yahya Al-Yazidi, dan Al-Syanbuzi.
Wallahu A’lam
Oleh Anni Kholidah Ritonga