Hikmah & Wawasan

Taubat Nasuha Hanya Diterima dengan Syarat ini, Simak

TSIRWAH INDONESIA – Manusia adalah makhluk yang rentan berbuat kesalahan, sehingga untuk mengimbanginya manusia perlu memperbanyak istigfar dan taubat. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau menyatakan bahwa sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah orang yang banyak bertaubat. Beliau bersabda:

  كلُّ بني آدمَ خطّاؤون وخيرُ الخطّائينَ التَّوّابونَ

Artinya: “Setiap anak Adam itu banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang sering berbuat salah adalah yang banyak bertaubat,” (HR Tirmidzi). 

Merujuk kepada kamus Al-Muhith karya Al-Fairuzabadi, kata taubat memiliki akar kata تَابَ yang bermakna رَجَعَ (kembali). 

Sedangkan kata nasuha (نصوحا) adalah bentuk mubalaghah (mengandung makna “sangat”) dari kata نَصَحَ yang bermakna خَلَصَ (tulus, murni). 

Maka dapat kita pahami bahwa taubat nasuha merupakan suatu perbuatan taubat yang tulus dan murni. 

Istilah taubat nasuha ini bersumber dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 8: 

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَيِّـَٔاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”

At-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wili Ay al-Qur’an bahwa makna taubat nasuha dalam ayat di atas adalah:

 ارجعوا من ذنوبكم إلى طاعة الله، وإلى ما يرضيه عنكم ﴿تَوْبَةً نَصُوحًا﴾ يقول: رجوعا لا تعودون فيها أبدا

Artinya: “Kembalilah dari dosa-dosa kalian menuju ketaatan kepada Allah dan kepada apa saja yang diridhai-Nya, yaitu dalam keadaan kembali dengan tekad tidak mengulanginya lagi selamanya.”

At-Thabari memuat beberapa riwayat yang mendukung makna ini, salah satunya riwayat dari Nu’man bin Basyir, ia berkata:

سُئل عمر عن التوبة النصوح، قال: التوبة النصوح: أن يتوب الرجل من العمل السيئ، ثم لا يعود إليه أبدًا.

Artinya: “Umar radhiallahu ‘anhu ditanya tentang taubat nasuha, ia menjawab: ‘seseorang bertaubat dari amal yang buruk, kemudian dia tidak kembali melakukannya selamanya.”

Berdasarkan tafsiran At-Thabari dan riwayat di atas, yang melandasi taubat nasuha adalah kesungguhan.

Taubat nasuha mengandung makna kesungguhan untuk berhenti melakukan dosa-dosa dan dengan tekad tidak akan kembali lagi pada dosa tersebut untuk selamanya. 

BACA JUGA : 4 Anugerah bagi yang Berbuat Dosa, Simak Penjelasannya

Taubat nasuha akan dapat dicapai hanya jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Mengenai syarat-syarat ini, Imam Abu Qasim Al-Qusyairy mengatakan dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah:

شرط التوبة حتى تصح ثلاثة اشياء: الندم على ما عمل من المخالفات، و ترك الزلة في الحال،  و العزم على ان لا يعود إلى مثل ما عمل من المعاصي. فهذه الاركان لا بد منها، حتى تصح توبته

Artinya: “Syarat sampai diakui sebagai taubat yakni melingkupi tiga hal. Pertama, menyesali kesalahan yang telah dilakukan. Kedua, meninggalkan kesalahan dalam keadaan apapun dan ketiga menetapkan atau berjanji tidak akan mengulangi perbuatan maksiat serupa. Maka rukun-rukun ini adalah wajib,agar tobatnya menjadi sah.”

Dapat kita pahami dari maqalah tersebut bahwa ada tiga hal yang melandasi taubat nasuha, yaitu: penyesalan (الندم), meninggalkan dosa (الترك), dan tekad tidak kembali lagi (العزم). 

Namun, Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitabnya Kifayah Al-Atqiya’ wa Minhaj Al-Ashfiya’ menambahkan syarat yang keempat. Dia berkata:

و البراءة من جميع حقوق الآدميين

Artinya: “Terbebas dari semua hak-hak adami.”

Tiga syarat sebelumnya adalah syarat yang wajib terpenuhi jika dosanya tidak berkaitan dengan hak sesama manusia. 

Adapun jika seseorang pernah berbuat zalim dengan mengambil hak orang lain, maka orang itu harus melaksanakan juga syarat yang keempat.

Demikian pula syarat keempat ini berlaku ketika seseorang pernah menyinggung perasaan, menggunjing keburukan orang, dan perilaku semisalnya yang terkait dengan hak adami. 

Cara pelaksanaannya adalah dengan mengembalikan hak yang telah diambil, atau meminta maaf secara langsung. 

Wallahu A’lam
Oleh Maksum H. Hubaeib

Editor: Divya Aulya

Penulis bau amis yang menulis sejumlah karya fiksi dan non-fiksi. Memiliki ketertarikan dalam dunia kebahasaan, memiliki visi dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tsirwah Partnership - muslimah creator