Bacaan Saktah Menurut Riwayat Hafsh dari Imam Ashim
TSIRWAH INDONESIA – Saktah adalah salah satu bentuk waqaf (pemberhentian; transit bacaan Alquran) hanya saja tanpa mengambil nafas.
Bacaan saktah menurut riwayat Hafsh dari Imam Ashim, melalui thariq (jalur) Asy-Syathibiyah berlaku dalam keadaan washal.
Secara umum saktah diterapkan oleh beberapa imam qira’at, di antaranya: riwayat Hafsh dari Imam Ashim, Ibnu Dzakwan dari Imam Ibnu ‘Amir, Imam Hamzah, dan Idris dari Imam Khalaf.
Ciri-ciri bacaan saktah di dalam Alquran ditandai dengan sin kecil (س) di atas huruf atau tulisan lengkap saktah (سكته).
Tulisan ini difokuskan membahas saktah riwayat Hafsh dari Imam ‘Ashim, karena alasan berikut:
Pertama, mayoritas kaum muslimin di berbagai belahan dunia Islam, khususnya Indonesia saat ini membaca Alquran menurut riwayat Hafsh dari Imam ‘Ashim.
Kedua, sebagian besar mushaf yang beredar, dicetak berdasarkan riwayat Hafsh melalui jalur Asy-Syathibiyah.
Pengertian Saktah
Sakt (السكت) menurut bahasa adalah diam tidak bersuara, antonim dari berbicara. Bentuk isim (kata benda) dari saktah (سَكْتَة) atau siktah (سِكْتَة).
Menurut ‘Isham Muflih Qudhat di dalam kitab Al-Wadhih fi Ahkam At-Tajwid, saktah adalah memutuskan bunyi selama dua harakat tanpa bernafas, dengan niat meneruskan bacaan.
Saktah dapat berlangsung pada dua kondisi, yaitu:
Pertama, terletak di tengah-tengah kata, seperti saktah sebelum huruf hamzah pada lafaz (القرآن), berdasarkan qira’at Imam Hamzah dari jalur Ath-Thoyyibah.
Kedua, terletak di akhir kata dalam keadaan washal. Misal, pada huruf nun (مَنْ ءَامَنَ) dan lam (بَلْ رَانَ).
Tempat-tempat Saktah dalam Alquran
Bacaan saktah menurut riwayat Hafsh dari Imam Ashim melalui thariq Asy-Syathibiyah, terdapat dua kategori di dalam Alquran.
Empat tempat saktah yang disepakati, dan dua tempat terjadi ikhtilaf (perbedaan), sebagai berikut:
Tempat Saktah yang Disepakati
Adapun empat tempat saktah yang disepakati oleh riwayat Hafsh dari Imam Ashim, melalui jalurAsy-Syathibiyah adalah:
1. Saktah pada huruf alif dari lafaz (عِوَاجًا), terdapat dalam surah Al-Kahf ayat 1-2, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ قَيِّمًا
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab Suci (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak membuat padanya sedikit pun kebengkokan. (Dia menjadikannya kitab) yang lurus.”
2. Saktah pada alif dari lafaz (مَرْقَدِنَا), termuat dalam surah Yasin ayat 52, Allah SWTberfirman:
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَن بَعَثَنَا مِن مَّرْقَدِنَا ۜ ۗ هَٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ
Artinya: “Mereka berkata, celakalah kami! siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?’ (lalu, dikatakan kepada mereka,) inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih).”
3. Saktah pada nun dari lafaz (مَنْ) yang terletak dalam surah Al-Qiyamah ayat 27, Allah SWTberfirman:
وَقِيلَ مَنْ ۜ رَاقٍ
Artinya: “Dan dikatakan (kepadanya), siapa yang (dapat) menyembuhkan?”
4. Saktah pada lam dari lafaz (بَلْ) yang terkandung dalam surah Al-Muthaffifin ayat 14, Allah SWTberfirman:
كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Sekali-kali tidak! bahkan, apa yang selalu mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.”
Tempat Saktah Terjadi Ikhtilaf
Adapun dua tempat terjadi perbedaan pendapat, yaitu:
1. Saktah pada akhir surah Al-Anfal dengan awal At-Taubah pada huruf mim dari lafaz (عَلِيْمٌ). Terdapat dalam surah Al-Anfal ayat 75 dan At-Taubah ayat 1, Allah SWTberfirman:
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad).”
Selain bacaan saktah, diperbolehkan dengan wahsal dan waqaf sebagaimana telah dikupas di artikel sebelumnya Lafaz Basmalah dalam Ilmu Qira’at.
2. Saktah pada huruf ha dari lafaz (مَالِيَهْ) yang tercantum dalam surah Al-Haqqah ayat 28-29, Allah SWTberfirman:
مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ ۜ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
Artinya: “Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.”
Selain saktah, diperbolehkan membaca dengan idgham mutamatsilain (dua huruf serupa bertemu) yaitu ha dengan ha menjadi satu ha bertasydid.
Kesimpulan
Bacaan saktah hanya berlaku ketika dalam keadaan washal. Lafaz yang memiliki bacaan saktah diberlakukan aturan dan hukum, seperti kalimat yang dibaca waqaf.
Dilarang membaca ikhfa’ pada lafaz (عِوَاجًا قَيِّمًا) dan tidak boleh idgham (مَنْ رَاقٍ، بَلْ رَانَ).
Wallohu A’lam
Oleh Anni Kholidah Ritonga